oleh

Paradoks Demokrasi Pemerintahan Mbaru Gendang

Oleh, Ben Senang Galus

Pemerintahan Mbaru Gendang (rumah adat) merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Mbaru Gendang hidup menurut adat yang berlaku sejak Mbaru Gendang itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Mbaru Gendang merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing comunity, yaitu sebuah komunitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.

Selain itu pemerintahan Mbaru Gendang juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan regulasi, membagi tanah adat, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian. Sehingga sistem pemerintahan Mbaru Gendang ini dapat dipahami sebagai

Pertama, Mbaru Gendang/Beo atau Golo adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal.

Kedua, Mbaru Gendang/Beo atau Golo berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat;

Ketiga, susunan pemerintahan  Mbaru Gendang/Bèo atau Golo ditentukan oleh hukum adat walaupun tidak tertulis.

Kempat, pemerintah Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  didampingi Dewan Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  yang disebut Tu’a Panga/Uku  membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; dan

Kelima, pemerintah Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo dapat menetapkan sanksi atas warga atau masyarakat yang melanggar peraturan Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo.

Pemerintahan Mbaru Gendang  itu sesungguhnya dipahami sebagai:

1) Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal.

2) Mbaru Gendang/Bèo atau Golo  berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat.

3) Susunan pemerintahan ditentukan oleh hukum adat.

4) Pemerintah Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  didampingi Dewan Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  yang disebut Tu’a Panga  membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat.

5) Pemerintah Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo dalam menetapkan sanksi atas pelanggaran peraturan.

Dapat dipahami bahwa tugas dan kewenangan Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo  meliputi kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian, hak ulayat, serta sumber penghasilan Mbaru Gendang/ Bèo atau Golo. Sistem pemerintahan Mbaru Gendang/Bèo atau Golo dinilai sebagai sistem pemerintahan yang mendukung kearifan lokal “Tu’a Gendang/ Tu’a Golo, Caun Natas Labar, Compang Wa Natas, Wae Teku agu Uma Duat Pe’ang, sembèng sangget ase kae, Titong one riwok, pangga sangget da’at. Tu’a Gendang/Tu’a Golo memegang kekuasaan atas kampung, altar persembahan untuk leluhur, melindungi mata air sebagai ciptaan Tuhan, dan menjamin kesejahteraan penduduk dengan membagi tanah seadil-adilnya.

Paradoks Demokrasi
Di era reformasi di mana tema pemerintah desa dalam kerangka otonomi daerah mampu menyedot perhatian publik, ternyata juga tidak cukup memberikan angin segar bagi pemerintahan Mbaru Gendang di Manggarai, tentang kehadirannya dalam pentas episode kesejarahan.

Upaya kesejarahan pemerintah Mbaru Gendang pada dasarnya adalah mengupas perjalanan interaksinya dalam pertarungan kekuasaan dan kelompok dominan yang berakibat pada upaya pelenyapan atau pemaksaan untuk mengenakan identitas baru.

Perubahan politik paska Orde Baru tidak serta merta berjalan mulus. Salah satunya adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun di negara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratisasi.

Di Manggarai paradoks demokrasi Pemerintahan Mbaru Gendang juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis misalnya, ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh Pemerintah adat Mbaru Gendang. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada.

Inilah yang akhirnya terkadang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat bahkan antar kerabat dalam satu Pemerintah Adat Mbaru Gendang.  Dalam pengamatan penulis, jenis konflik baru itu semakin menguat: konflik yang terjadi di dalam kampung, antara klan dalam satu Mbaru Gendang atau antara Mbaru Gendang dalam bentuk perkelahian, saling menghina dan kekerasan domestik lainnya.

Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan suku, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distribusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (di mana misalnya suatu kelompok suku kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.

Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi di Pemerintahan Adat Mbaru Gendang. Jika ada konflik pastilah timbul ketidakteraturan politik dan sosial. Oleh karena itu demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka, potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.

Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh Pemerintahan Adat Mbaru Gendang. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik pilkada misalnya.

Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi Mbaru Gendang merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabilitas dan keberlangsungan demokrasi di arus lokal. Pemahaman yang baik mengenai institusi Mbaru Gendang juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi Mbaru Gendang sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.

Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat – masyarakat yang terpecah – belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (suku, kultur), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan.

Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi Mbaru Gendang yang melindungi hak-hak individual dan kelompok kerabatnya, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi deliberatif.

Justru karena itu, barrier (pembatas) Mbaru Gendang menuju masyarakat demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial.

Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk, sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan, baik pada domain struktural maupun kultural. Masalahnya adalah, bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat. Penanganan pasca konflik juga realisasinya belum optimal.

Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di antara Mbaru Gendang dengan pemerintah daerah. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efektif dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang benar-benar matang dan substantif memerlukan waktu yang panjang.

Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif, karena kekerasan acap kali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan demokrasi.

Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan demokrasi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan sistem nilai budaya. Bila kita melihat sebab-sebab konflik antara institusi Mbaru Gendang dengan pemerintah daerah memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen kesukuan dan aliran politik.

Begitulah kondisi Manggarai yang saat ini terjadi, banyak tawaran yang bergulir demi mewujudkan strategi peredam konflik. Maka saatnyalah   demokrasi deliberatif (deliberative democratie) dipraktekkan secara holistik bukan sekedar sebagai seremonial, sehingga yang difahami hanya demokrasi sebagai sebuah teori sehingga menimbulkan problem hermeneutik terhadap pemaknaan.

Dengan kata lain demokrasi janganlah dipahami untuk mengatasnamakan eksistensi, yang menyebabkan timbulnya demokrasi lokal, demokrasi doktrinal dan demokrasi kontekstual. Marilah kita pahami dari keseluruhan atas pluralitas dan hegemonik konstruksi transformasi demokrasi, sebagai langkah mencapai tujuan dan menciptakan prinsip bukan malah menambah konflik.

Mengoyak Kekerabatan
Namun apa yang terjadi kemudian pada saat paska Otonomi Daerah ternyata justru mengoyak tali komunalitas dan kekerabatan. Demokrasi prosedural atau lebih dikenal dengan demokrasi liberal, yang dipraktekkan di Manggarai ternyata mengoyak-oyak ikatan persaudaraan dan kekerabatan yang sangat erat diantara penduduk kampung atau antar kerabat Mbaru Gendang.

Justru yang terjadi adalah permusuhan dan perpecahan diantara saudara sendiri. Hanya karena perbedaan dalam menentukan sikap dan memilih calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, misalnya, menjadikan sesuatu yang lebih mahal dan berharga menjadi hilang dan putus.

Memang benar, demokrasi sudah dikenal oleh warga Mbaru Gendang sejak ribuan tahun lalu dengan praktik penunjukkan atau penetapan Tu’a Gendang sebagai kepala pemerintahan Mbaru Gendang, namun penunjukkan atau penetapan Tu’a Gendang tersebut bukan demokrasi liberal seperti yang sekarang kita lihat. Demokrasi yang diwariskan sejak dahulu kala di Mbaru Gendang, selalu dilakukan dengan pemahaman dan (masih dengan)  semangat komunal dan persaudaraan yang erat.

Artinya meski berbeda dalam memilih pemimpin modern seperti saat ini, namun diantara pemimpin yang ditetapkan, masih mempertahankan sikap dan perilaku yang sportif, jujur dan mampu dijadikan tauladan yang baik, ya karena masih adanya ikatan komunal dan kekerabatan yang erat.

Sehingga meskipun rakyat dan masyarakat yang berbeda dalam menentukan sikap sewaktu penetapan Tu’a Gendang tetap terkondisikan, tanpa merusak ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang sudah terbina erat. Hal tersebut yang kemudian menghilang dan tergerus oleh zaman seiring dengan ketercabutan masyarakat kampung dari akar-akar peradabannya.

Namun justru kemudian jargon bahwa: “demokrasi membawa perubahan peradaban baru” justeru berubah menjadi “demokrasi memakan anak kandungnya sendiri”. Dan jargon itu terjadi di seluruh Manggarai, bukan hanya di Kampung, yang dengan demokrasi dan keterbukaan malah hancur berantakan dan terpecah belah. Di banyak kampung, kata dan kalimat ajaib berupa demokrasi dan atau demokratisasi malah menjebak dan membuat banyak pihak terjembab pada sebuah lubang yang tidak terlihat karena tertutup kalimat sakti demokrasi tersebut. Demokrasi ternyata mempunyai lubang yang banyak menganga dan menjebak orang-orang yang tidak hati-hati dalam melangkah.

Seperti itulah yang penulis temukan  selama beberapa tahun paska otonomi daerah di Manggarai yang ikatan keluarga dan Persaudaraannya tercerai berai hanya karena masalah demokrasi dan pemilihan kepala daerah langsung yang tidak mampu memberi tauladan yang baik kepada masyarakat yang masih komunal dan tradisional.

Padahal kampung, dalam konteks sosio kultur dan ekosistem di Manggarai  selain sebagai lumbung-lumbung makanan juga sebagai pusat akar-akar sejarah dan penyangga tiang peradaban suatu kampung. Namun ternyata demokrasi dan demokratisasi malah merusak dan mencerai beraikan lumbung dan tiang penyangga peradaban. Sampai di sini, kritik dan otokritik terhadap demokrasi akan terus berjalan untuk mendapatkan anti tesa yang lebih baik dan sempurna

Seiring dengan terbukanya keran demokrasi pasca Orde Baru yang membebaskan setiap individu dan kelompok untuk mengeluarkan pendapat dan melakukan berbagai macam tindakan, maka menunjukan pula gejala menguatnya politik identitas sebagai ekspresi semangat kekuatan lokal, yang mulai marak sejak reformasi dan puncaknya sejak diberlakukannya otonomi daerah, hal ini telah mengentalkan sentimen komunal yang terkotak – kotak.

Karena itu, persaingan dan konflik bukan hanya mungkin terjadi dalam internal komunitas, tapi juga melebar ke arah antar kelompok yang berbeda-beda. Sebab kita menyadari bahwa, komposisi masyarakat Manggarai  yang heterogen,  disertai  karakteristik  geografis, sangat potensial untuk munculnya friksi-friksi komunal. Konflik komunal dapat dipicu  oleh eksklusivisme politik, suku,  serta kesenjangan sosial ekonomi.

Melihat kepada hal tersebut di atas, maka dengan terbukanya keran demokrasi, maka juga telah membuka peluang untuk munculnya konflik komunal. Hampir seluruh konflik komunal di Manggarai yang terjadi justeru disebabkan, kesalahan dalam penafsiran demokrasi dan ditemukan keterkaitan antara kekerasan sosial dan tingkat demokrasi, di mana demokrasi baru memiliki peluang lebih besar bagi terjadinya konflik komunal (sosial) dalam skala yang luas.

Singkat kata, terbukanya keran demokratisasi secara otomatis juga kerap memberi ruang bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai identitas masyarakat komunal. Konsep identitas secara umum diartikan sebagai citra yang membedakan suatu individu/kelompok dengan individu/kelompok lainnya yang dibangun oleh individu/kelompok tersebut serta dimodifikasi secara terus menerus melalui interaksi dengan pihak-pihak lain. Jika menguatnya citra identitas dari suatu kelompok, tanpa dibarengi dengan kesadaran untuk menghormati kelompok lain, maka bukan mustahil apabila komunalisme cenderung akan membawa pertentangan antara satu identitas terhadap identitas yang lainnya.

Dilihat dari implikasinya terhadap keberlanjutan pembangunan demokrasi, persoalan komunal sebetulnya merupakan hal serius. Konflik komunal menjadi penyebab nomor satu kematian demokrasi komunal selama bertahun-tahun terpelihara dalam kehidupan kolektivitas masyarakat Manggarai. Meski tidak mampu mengukur pola distribusi kekuasaan dan kekuatan dari masing-masing pendukung demokrasi tadi, secara empiris berhubungan erat terhadap ketidakstabilan politik pada tingkat lokal.

Adalah kurang tepat mengalamatkan eskalasi paradoksal demokrasi ini, sebagai akibat dari demokratisasi. Justru sebaliknya eskalasi konflik akan meningkat ketika “demokrasi” ditempuh dengan cara-cara yang tidak demokratis.  Demokrasi dalam masyarakat yang heterogen memang tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan maupun kualitas pelayanan publik. Lebih jauh lagi institusi memegang peranan penting dalam meminimaliskan dampak persoalan paradoksal demokrasi. Institusi birokrasi yang korup dan miskin akan makin memperburuk keadaan.

Saat ini dalam era otonomi daerah, birokrasi lokal berperan sentral dalam menjaga kestabilan politik lokal. Sayangnya akhir-akhir ini birokrasi lokal cenderung semakin korup. Padahal birokrasi yang korup lebih mudah “dibeli” dan ini meningkatkan kerentanan aktivitas rente maupun kebijakan yang berpihak pada kepentingan tertentu. Karena itu sudah saatnya birokrasi lokal mengurangi intervensi pada aktivitas yang produktif sembari memberikan hak politik yang lebih bebas kepada pemerintahan Mbaru Gendang.

Ben Senang Galus, Penulis Buku, Tinggal di Yogyakarta

Komentar