Oleh: Edi Danggur (Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta)
Hukum harus dinalarkan secara argumentatif. Begitulah semestinya cara kerja para ahli hukum, termasuk pengacara.
Tidak boleh ada kesesatan atau _fallacy_ dalam proses bernalar. Kesesatan dalam bernalar biasanya terjadi baik secara paralogis maupun sofisme.
Paralogis berarti sejak awal memang si penulis tidak ada intensi negatif untuk menyesatkan orang lain. Maka orang tersebut patut dimaafkan. Ya, _errare humanum est_, berbuat salah itu manusiawi.
Tetapi penalaran yang paling ditentang keras adalah sofisme. Ada kesengajaan: tahu bahwa penalaran itu bertentangan dengan kaidah-kaidah logika, tidak sahih, tidak valid, tetapi tetap saja ia menalarkannya.
Salah satu jenis kesesatan dalam argumentasi hukum adalah argumentasi otoritas _(argumentum ad verecundiam)_. Orang menerima atau menolak suatu argumentasi hukum, hanya karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang dianggap berwibawa, pemegang otoritas, berkuasa, ahli dan dapat dipercaya.
Mereka ini bisa tokoh agama, penegak hukum, birokrat, pejabat, pengusaha, pemangku adat, kaum profesional di berbagai bidang kehidupan.
Banyak orang terjebak. Argumentasi mereka diterima tanpa ditelaah secara kritis nilai argumentasi atau nilai penalarannya karena sudah ada anggapan pasti benar.
Kaum professional di bidang hukum, tentu saja menolak argumentasi otoritas ini. Kalau tokoh agama menalarkan hukum berdasarkan ayat-ayat kitab suci, seyogyanya jangan diterima begitu saja. Uji dulu secara hukum.
Nilai argumentasi atau penalaran itu jauh lebih penting ketimbang otoritas. Sebab di mata para ahli hukum, nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasi _(tantum valet auctoritatis valet argumentatio)_.
Albert Einstein mempunyai nasehat yang bijak mengenai hal ini: _“Blind obedience to authority is the greatest enemy of truth”._ Ketaatan buta terhadap otoritas adalah musuh terbesar dari kebenaran.
Tulisan ini hendak mengulas tiga pesan penting dari nasehat bijak Einstein. _Pertama,_ agar kita senantiasa bersikap kritis di hadapan otoritas. _Kedua,_ apa saja manfaat bersikap kritis bagi perkembangan inteletualitas kita. _Ketiga,_ bagaimana cara merawat sikak kritis kita.
Taat Secara Kritis
Di sini menjadi penting mempertimbangkan nilai argumentasi sebagai syarat untuk tunduk dan taat pada otoritas. Sebaliknya taat pada otoritas tanpa mengkritisi nilai argumentasi disebut ketaatan buta _(blind obedience)._
Dengan diksi yang keras itu Einstein hendak menekankan pentingnya berpikir kritis. Kita tidak boleh menerima informasi atau perintah tanpa mempertanyakannya. Sekalipun perintah itu datang dari pemimpin agama.
Einstein justru menyoroti betapa besar bahaya ketaatan buta terhadap otoritas. Tidak boleh hanya karena ketokohan seseorang atau sekelompok orang, seolah-olah menjadi jaminan kebenaran. Ini ketaatan buta yang dapat menghalangi atau menghambat kemajuan.
Maka setiap kali otoritas memberikan perintah, petunjuk, atau pertimbangan, Einstein memberikan setidak-tidaknya tiga pesan utama:
_Pertama,_ bersikap kritis terhadap otoritas. Einstein menekankan pentingnya kritisisme terhadap otoritas dan tidak hanya menerima apa yang dikatakan oleh mereka tanpa mempertanyakan. Di sini mensyaratkan untuk tidak merasa takut dicap membangkang pada otoritas
_Kedua_, pentingnya berpikir kritis. Dengan frasa ini Einstein menekankan pentingnya berpikir kritis dan tidak hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh otoritas tanpa mempertanyakan.
![]()
![]()
