SwaraNTT.Net – PT PLN (Persero) menjadi ujung tombak dalam akselerasi transisi energi ramah lingkungan di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, PLN gencar membangun pembangkit berbasis EBT guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang.
Berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN teranyar 2021-2030, memberikan porsi lebih besar bagi pembangkit EBT, yakni 52%, sehingga RUPTL ini disebut ‘RUPTL Hijau’.
Berdasarkan RUPTL 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit adalah 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBT sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%.
Lalu, apa itu pembangkit EBT?
Secara singkat, pembangkit listrik EBT adalah pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi baru terbarukan sehingga masuk dalam kategori ramah lingkungan dan mampu menekan angka emisi karbon.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terdapat lima jenis pembangkit EBT di Indonesia, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
1. PLTS
Berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (2022) International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan potensi energi surya Indonesia mencapai 2.898 GW.
Pembangkit non-fosil ini memanfaatkan energi panas cahaya matahari untuk menyuplai listrik.
Prinsip kerja PLTS terbilang sederhana, yaitu dengan mengubah paparan energi panas matahari menjadi energi listrik melalui sebuah komponen panel surya.