oleh

“Mbecik”: Sebagai Bentuk Kritik Sosial (Kah?)

 Oleh: Angelo Cefreeco Dirpa Syukur (Siswa SMAS Seminari Pius XII Kisol)

=================================

Tana Manggarai merupakan tanah kuni agu kalo, tana wadah dise ema agu mbate dise ame (tanah tumpah darah, warisan leluhur dan takdir pemberian– the given). Sudah 17 tahun saya bergulat dan mencoba memberi makna atas anugerah kehidupan, kendatipun ekspresinya cuma sebatas sebagai seorang pelajar di daerah pedalaman Manggarai Timur. Saya memang hanya “anak kemarin sore”, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi saya untuk mengikuti dan merasakan setiap perubahan di daerah ini.  Misalnya saja penggunaan tutur kata mbecik yang telah menjadi blessing in the disguised (berkat tersamar) bagi saya, untuk dituangkan dalam sebuah refleksi atas fenomena sosial orang Manggarai terkait tutur kata mbecik  yang terekspresi dalam perilaku masyarakatnya dalam bersosial media.

Masifnya perkembangan teknologi dan informasi di era ini, berimplikasi pada pekerjaan manusia yang semakin dipermudah. Misalnya saja soal berkomunikasi. Hemat penulis, sejak media sosial menjadi sarana ampuh bagi komunikasi manusia, hal ini tidak menutup kemungkinan segala sesuatu dapat diketahui dengan mudah dan cepat (yang privasi sekali pun).  Untuk itu, tak heran apabila masyarakat beramai-ramai mengupload pelbagai konten atau komentar-komentar dengan harapan akan disukai oleh orang lain, maskipun kadang kala konten atau komentar tersebut bernuansa negatif dan tidak bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang pada dasarnya, setiap orang dituntut untuk berdamai dengan perubahan zaman, terutama perubahan teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, tanpa kita sadari, justru hal ini telah merubah paradigma berpikir dan pola-laku manusia serta media sosial telah menjadi “tuan, majikan” atas diri manusia. Misalnya saja dalam tutur kata via sosial media.

Baca Juga: Iuran BPJS Naik Lagi, Pembangkangan Putusan MA?

Hemat penulis, komunikasi tutur kata via media sosial, tak memiliki pengaruh positif sedikit pun. Sekian sering dalam media sosial ditemukan tutur kata negatif, yang dalam pola komunikasi orang Manggarai diungkapkan lewat tutur kata mbecik (mbétjik). berdasarkan hal ini, dalam konteks inilah peran sosial media dianggap sama dengan peranan “pedang bermata dua.” Siapa yang memegang pedang, dialah yang menentukan apakah pedang tersebut bernilai positif atau negatif. Maka dari itu, tulisan ini lahir sebagai bentuk refleksi kritis atas fenomena komunikasi tutur kata orang Manggarai.

Secara etimologis, Kamus Bahasa Manggarai, mbétjik (dibaca: mbecik) berarti cercai, nistai, maki, olok. Hemat penulis, berdasarkan pengertian ini, Mbétjik dapat dianggap  berkonotasi atau bernuansa negatif. Baik untuk menjelekkan, menyingkirkan, memojokkan, mengisolasi  seseorang dari kehidupan sosial atau pun menjatuhkan seseorang atau kelompok tertentu atas tutur  kata atau tindakannya tanpa adanya langkah solutif. Mbétjik kuno (sebelum ada sosial media) sekian sering mengisahkan tentang kehidupan sosial dan spiritual pada zaman itu yang cenderung bersifat realistis, banyak mengandung unsur sejarah dan memiliki nilai edukatif, sedangkan mbétjik modern (pasca sosial media hadir) lebih bersifat komersil, nuansa politis dan banyak mengarang kisah fiktif yang goalnya cuma memojok atau menjatuhkan pihak lawan bicara.

Baca Juga: Problematika Pekerja Migran NTT