Agustinus Edward Tasman, Researcher Fellow pada Policy Research Organization – Change Operator (Change’O) Manggarai Raya. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Hilarius A. Hadur dan Rikardus Y. Goa yang telah mereview dan menghadirkan insight berbeda pada beberapa bagian artikel ini.
Ruteng, Swarantt.Net – Jumaat 30 Agustus 2019 kemarin, Gubernur Nusa Tenggara Timur mengukuhkan 30 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Manggarai Barat (DPRD Mabar) terpilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2019 lalu. Mengambil tempat di ruang sidang utama DPRD Mabar, pengukuhan itu itu dipandu oleh Ketua Pengadilan Negeri Labuan Bajo dengan disaksikan oleh hampir 500-an undangan.
Sesuai regulasi yang berlaku, pengukuhan ini dilegitimasi secara penuh dalam sebuah rapat paripurna dewan, dengan agenda pokok pengucapan sumpah/janji para anggota terpilih sebagai wakil syah rakyat Mabar di DPRD, periode 2019-2024. Dengan itu, negara mengakui secara resmi eksistensi mereka sebagai pejabat-politik-publik-kenegaraan, baik secara de facto, dan lebih-lebih dari segi de jure.
Pertanyaan yang kemudian menggoda untuk dijawab adalah apakah mereka yang terlantik akan sanggup memenuhi tuntutan masyarakat dalam kerja-kinerja mereka 5 tahun kedepan melebihi kerja-kinerja pendahulunya 5 tahun sebelumnya? Pertanyaan itu layak diajukan karena entah disadari atau tidak, peristiwa pelantikan itu juga seperti sebuah engsel yang disatu bagian membuka babak baru kerja-kerja representatif DPRD Mabar 5 tahun ke depan; tetapi dibagian lain “menutup buku” terhadap apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulu-pendahulunya, 5 tahun sebelumnya. Tetapi, apa ukurannya? Tidak kalah pentingnya kemudian adalah bagaimana memaknai pelantikan itu sendiri?
Momentum Istimewa
Moment atau Momentum selalu merupakan suatu yang penting dalam politik. Kelebihan seorang politisi, seringkali hanya diukur melalui, bagaimana ia menciptakan dan memanfaatkannya secara maksimal. Bagi ke 30 puluh anggota DPRD dan siapapun yang memilih berkiprah membangun Manggarai Barat melalui jalur politik kepartaiaan, pandangan seorang filsuf politik Italia diatas tentu berlaku juga.
Dalam hubungan itu, peristiwa pengambilan sumpah/janji anggota DPRD Mabar periode 2019-2024 itu menjadi momentum istimewa bagi mereka. Ini karena kenyataan bahwa mereka sendirilah yang telah menciptakan dasar-dasar kehadiran dan keberadaanya sebagai momentum istimewa, baik secara individual maupun kumulatif/kepartaian,.
Secara individual, momentum hari itu mereka sendiri yang ciptakan karena dari 479 caleg (279 laki-laki dan 147 perempuan) yang terdaftar secara resmi dalam Daftar Calon Tetap (DCT) KPU Mabar untuk berlaga secara resmi dalam pileg kemarin, hanya 30 orang (29 laki-laki dan 1 perempuan) yang akhirnya dipilih masyarakat Manggarai Barat dan dikukuhkan negara secara resmi.
Sedangkan dari segi kumulatif/kepartaian, momentum istimewa ini mereka ciptakan karena dari 73 partai politik yang terdaftar di Kemenkuham sebagai calon peserta pemilu 2019, hanya sebanyak 27 partai politik yang pergi mendaftar dan 16 yang dinyatakan lolos verifikasi oleh KPU. Dengan pertarungan yang begitu ketat keluar yang dipaksakan sistem penghitungan suara yang berlaku, maka suka atau tidak suka, kedalam mereka harus bekerjasama bahu-membahu bersama rekan sejawat sesama partai untuk memperoleh hasil suara yang maksimal, terutama untuk suara kumulatif partai.
Semuanya terbukti ketika caleg-caleg dari dari 16 partai itu kemudian harus berkompetisi untuk menduduki kursi di DPRD Mabar. Hasil yang muncul menghadirkan kenyataan bahwa warga yang berhak memilih seturut undang-undang hanya memberikan mandatnya kepada 13 partai saja, yakni, sesuai urutan perolehan suara, Partai NasDem (5 Kursi); PDIP, PAN, PKB, Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Hanura (3 kursi), PKS (2 Kursi), PPP, Partai Perindo, PBB, PKPI, dan Partai Gerindra (1 Kursi).
Karena itu, tidak seorang pun diantara DPRD Mabar yang terpilih itu bisa berbusung dada, mengklaim bahwa keberhasilannya terpilih sebagai anggota dewan dalam periode 5 tahun ke depan, semata-mata hanya karena kemampuan individual semata-mata. Tanpa kerjasama-kolektif ke dalam diantara sejawat sesama partai masing-masing, adalah suatu yang mustahil pada akhirnya sebuah partai bisa menghadirkan wakilnya dalam DPRD, meski dengan resiko ada sejawat yang lainnya harus bersabar menanti pileg berikutnya karena kurang suara, untuk tidak kita katakan gagal.
Semua fakta itu diangkat lagi dengan sengaja disini hanya untuk mengatakan bahwa dengan itu pengucapan sumpah/janji anggota DPRD Mabar itu merupakan momentum pembuka bagi partai politik untuk menunjukkan prestasi kaderisasi yang telah dijalankannya. Di dalam sumpah/janji yang diucapkan anggota DPRD terlantik, ada partai politik sebagai lembaga yang hadir sebagai the invisible hand dibalik layar keberhasilannya. Keterpilihan itu teraih dalam lingkungan agenda setting, ideologi yang menghablur dalam kurikulum pemenangan dan sumber daya ekonomi kepartaian. Dengan itu, berhasil atau tidak, baik atau buruk kerja-kinerja representasi masing-masing anggota DPRD terpilih kelak, dalam dan pada dirinya sendiri merupakan akumulasi kaderisasi serentak aktualisasi ideologi kepartaian.
Komentar