oleh

Tambang dan Keberlanjutan Lingkungan NTT (Perspektif Hukum Lingkungan )

Oleh: Yuvensius Stefanus Nonga

Keberlanjutan Lingkungan

Keberlanjutan lingkungan dalam sektor pembangunan di Indonesia senantiasa menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan oleh setiap individu atau pelaku pembangunan.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa lingkungan menjadi satu-satunya tempat seluruh Makhluk Hidup menggantungkan kehidupannya.

Semua makhluk hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan.

Model dan arah pembangunan di masa mendatang sangat dipengaruhi oleh desain pembangunan saat ini dan sikap kritis masyarakat.

Penilaian-penilaian setiap pembangunan melekat pada pemerhati lingkungan baik itu individu maupun instansi yang mempunyai spirit yang sama dalam memastikan keberlanjutan lingkungan.

Era Globalisasi dan kecenderungan sikap konsumerisme menjadikan merosotnya sikap manusia dalam menghargai lingkungan.

Lingkungan dianggap sebagai satu satu aspek pelengkap dalam kehidupan manusia.

Cara pandang seperti ini layaknya cara pandang antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat kehidupan.

Hal ini bertentangan dengan perspektif ekosentris yang menempatkan alam sebagai pusat dari seluruh kehidupan.

Cara pandang di atas sangat mempengaruhi cara pikir masyarakat dalam memandang alam dan isinya.

Dalam hidup bernegara, tentunya hampir setiap sektor kehidupan dikemas dalam satu tatanan substansi hukum dengan spirit dasarnya tertuang dalam landasan filosofisnya.

Dalam konteks pembangunan lingkungan di Indonesia lahir berbagai produk peraturan perundang-undangan yang diharapkan dapat memastikan keberlanjutan lingkungan terlaksana dengan baik, serta menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagai hak asasi manusia sebagaimana dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia.

Konstitusi telah menempatkan Lingkungan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia yang tentunya wajib mendapatkan kepastian hukum terkait model pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Keberlanjutan lingkungan yang dimaksudkan adalah Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan serta memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Keberlanjutan lingkungan pada hakekatnya mengadaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan yang memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Pengertian lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

UUPPLH menjadi benteng pertahanan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.

UU ini dibentuk degan salah satu landasan filosofis sebagai berikut:

Bahwa lingkungan hidup yang baik dan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

Semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

Bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;

Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Jelas sudah bahwa pilihan perlindungan lingkungan secara hukum wajib diperhatikan dalam setiap pembangunan, mengingat bahwa kegiatan pembangunan dapat menimbulkan resiko berupa kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Resiko kerusakan tersebut dapat berupa rusaknya berbagai sistem pendukung kehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial.

Oleh karena itu kegiatan pembangunan, baik secara makro maupun mikro seyogyanya bernuansa dan berwawasan perlindungan lingkungan.

Perlindungan Lingkungan hidup yang dimaksud sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) UUPPLH yang diartikan sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tentunya mempunyai tujuan untuk mempertahankan aspek keberlanjutan lingkungan.

Hal ini tertuang dalam Pasal 3 UUPPLH yang menyatakan secara tegas bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:

Pertama melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

Kedua menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem

Ketiga menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

Keempat menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan

Kelima menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

Keenam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

Ketuju mengantisipasi isu lingkungan global.

Tambang dan keberlanjutan lingkungan di NTT

Pertambangan di Propinsi Nusa Tenggara Timur menyimpan cerita tersendiri terkait dengan isu keberlanjutan lingkungan.

Tercatat ada 309 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di seluruh kabupaten di NTT, 96 IUP berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi, 5.620,26HA yang berada di kawasan hutan produksi dan 65.862,87 HA berada di kawasan hutan lindung.

Fakta tersebut menunjukan keberlanjutan lingkungan secara de jure mendapatkan kepastian hukum, namun tidak secara de facto.

Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan marak terjadi di NTT.

Secara hukum alih fungsi kawasan hutan harus dilandasi pada penelitian terpadu sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

Penelitian terpadu yang dimaksudkan adalah yang berkaitan dengan kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air serta adanya dampak sosial masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang. Apabila pertambangan berdampak negatif pada beberapa hal tersebut, maka alih fungsi kawasan hutan tidak diperbolehkan.

Sejarah pertambangan di NTT menyisakan dampak negatif bagi keberlanjutan lingkungan dan sosial masyarakat.

Aktifitas pertambangan yang didahului tanpa adanya studi tentang daya tampung dan daya dukung lingkungan ditambah lagi mayoritas pengusaha tambang yang mengabaikan pemulihan lingkungan pasca tambang.

Lubang-Lubang tambang dibiarkan tanpa ada pemulihan lingkungan, lahan pertanian masyarakat dialihkan, begitu juga dengan dampak sosial budaya yang ditimbulkan tidak berujung pada solusi yang baik bagi masyarakat.

Pasal 101 UU  Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menjadi dasar pengaturan reklamasi dan pascatambang, yang dijabaran lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah ini pada hakekatnya untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan usaha pertambangan, dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan partisipasi masyarakat.

Selama tambang itu mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan yakni terkait daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup serta menimbulkan dampak sosial di NTT, maka selama itu pula Tambang tidak layak di Bumi NTT.

Komentar