oleh

Uffatisu an Insanin

Oleh Ben Senang Galus

Beberapa abad lalu seorang filsuf Yunani Diagne le Cynique menyalakan obor di siang hari, seraya berjalan di tengah kerumunan orang banyak. Ketika orang banyak bertanya perihal perbuatannya itu, sang filsuf menjawab uffatisu an insanin. Artinya aku sedang mencari manusia.

Apa yang dilakukan sang filsuf tadi, sebenarnya adalah reaksi atas keprihatinan kehidupan manusia pada zaman dan tempatnya, kondisi kehidupan mana sudah terlalu jauh dari alam manusiawi, karena tergilas oleh semangat rasionalisme yang cukup tinggi. Oleh semangat rasionalisme yang berlebihan, manusia kala itu lebih tampil sebagai animale rasionale  ketimbang ens sociale.

Kondisi kehidupan manusia beberapa abad lalu itu, jika dihubungkan dengan  kondisi Perguruan Tinggi (PT) saat ini, sebenarnya mengalami hal serupa. Dalam bahasa yang berbeda, namun mempunyai makna yang sama, banyak mahasiswa ataupun dosen di PT saat ini  sedang menjauhi kehidupan kampus yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah PT pada umumnya.

Kampus atau PT yang semestinya menampilkan etos dan semangat ilmiah, justeru begitu tumpul di PT. Kultur akademik yang semestinya bertumbuh subur, namun justeru tertimpa kemarau panjang atau  dalam ungkapan lain mahasiswa kita sedang mengalami krisis kemampuan berpikir.

Yang jelas, apa yang diutarakan di atas merupakan sebuah gugatan terhadap PT saat ini di mana mahasiswa ataupun dosennya semakin  sepi dan jauh dari kegiatan intelektual yang menjadi ciri khas kehidupan sebuah PT. Inilah yang membuat sejumah PT kita di tanah air tidak diperhitungkan atau bahkan tidak bisa disejajarkan dengan PT semisal Harvard University, University of California Berkeley atau Massachusetts Institute of of Technology.

Loco Parentis
Alasan klasik, banyak dosen kita sibuk dengan berbagai kegiatan proyek di luar kampus sehingga mereka ke luar dari profesi keilmuan dan menyerahkan pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan uang semata. Sehingga hubungan dosen  dengan mahasiswa tidak lebih bersifat  loco parentis. Dengan pengertian bahwa para mahasiswa ibarat anak asuhan dari sebuah PT yang bertanggungjawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi mahasiswa.

Bersamaan dengan itu muncullah peran-peran mahasiswa sebagai  santri-santri, sebagai pelanggan biasa yang mengambil berbagai pelajaran untuk mencari gelar dan selebihnya sebagai bohemians (petualang-petualang) atau pemisah diri yang berada di kampus, yang memisahkan dirinya dari kegiatan akademis yang sungguh-sungguh.

Hal demikian sangat mungkin dipengaruhi oleh suatu keadaan obyektif PT, yang terwujud dalam beberapa gejala dominan atau berupa komitmen yang diemban atau karakteristik masalah yang dihadapi oleh sebuah PT yang di gerogoti oleh banyak  penyakit.

Gerald Holton dalam Dick Hartoko (1981) menyatakan bahwa kebesaran sebuah PT tidaklah ditentukan oleh lancar dan tertibnya seluruh peraturan akademis dan proses perkuliahan, akan tetapi sejauh mana seluruh warga kampus itu, menegakkan dan menjunjung tinggi kultur akademis, yang ditandai oleh semangat  ilmiah.

Ketidakberdayaan PT dalam mengembangkan kultur akademik sama artinya PT sedang melakukan suatu proses pauperisasi  atau proses pemiskinan intelektual. Proses pauperisasi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, yaitu sarjana-sarjana serba terbatas kapasitas keilmuan dan keterampilannya.

Ini bisa disebabkan antara lain seperti 1). Budaya ketergantunga intelektual yang tinggi,
2). Inner dynamic yang lemah,
3). Belajar dengan moral minimalis,
4). Kebiasaan melecehkan waktu,
5). Minat baca dan tulis masih rendah, 6). Sosialisasi diri masih rendah.
Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa PT kita di tanah air sebagai mesin reproduksi pengetahuan kini mengalami krisis reputasi.

Hal demikian sangat mudah kita pantau. Misalnya PT kita tidak memiliki keunggulan dalam mengajar, rendahnya minat penelitian,  minimnya tulisan ilmiah di jurnal nasional maupun internasional. Faktor dominan munculnya gejala demikian, sekurang-kurang dua hal.

Pertama, manajemen PT kurang memberikan penghargaan terhadap para peneliti atau penulis. Karena itu banyak dosen lebih memilih jabatan struktural dari pada penelti atau penulis.

Kedua, kebijaksanaan pimpinan PT kurang kondusif bagi publikasi. Pimpinan PT seringkali membuat kebijakan dengan menargetkan sekian dosennya bergelar doktor atau magister tanpa menargetkan pengembangan penelitian atau publikasi ilmiah, jumlah artikel jurnal internasional, dan buku teks yang ditulis dosen masih minim.

Karena itu bukan hal yang aneh pula, jika issue-issue rendahnya kultur akademis di kalangan mahasiswa maupun dosen terus bergulir.   Akibatnya, mata kuliah dari tahun ke tahun isinya sama, dengan referensi buku-buku yang sudah ketinggalan zaman. Kalaupun ada penelitian, terutama bila terkait dengan kenaikan pangkat, maka yang muncul adalah penelitian berkelompok. Penelitian mandiri belum menjadi tradisi.

Itulah kelemahan dosen kita adalah rendahnya keprigelan menulis, sehingga ilmu yang dimiliki mereka berhenti di situ, tak ada reproduksi. Hal ini menunjukkan lemahnya kemampuan menulis akademik, sekaligus bukti gagalnya pendidikan bahasa, khususnya pengajaran menulis di Indonesia. Kondisi demikian berdampak pada mahasiswa. Mahasiswa kalau diserahi tugas dengan sangat gampang copy paste dari google. Mahasiswa malas berpikir dan malas berimajinasi.

Kemampuan menulis akademik atau technical writing –sebagai reproduksi ilmu pengetahuan lazimnya diperoleh dengan mudah oleh seorang calon ilmuwan setelah terbiasa menulis naratif, yakni menulis pengalaman sendiri atau orang lain. Begitu masuk PT, seorang mahasiswa seyogiyanya siap untuk membangun keterampilan menulis eksploratoris, setelah menguasai keterampilan menulis naratif yang di bangun di sekolah.

Agar mahasiswa atau pun dosen di PT tidak mengalami kemarau panjang atau krisis kemampuan berpikir terus menerus,  kiranya solusi berikut harus dilakukan.

Pertama, perlu membentuk peguyupan dosen dan mahasiswa yang memiliki minat yang sama yang secara terjadwal berdiskusi. Diskusi dan dokumentasi yang terus menerus ini adalah reproduksi ilmu yang berbuahkan buku, artikel atau jurnal. Jadi penulisan buku tidak dipersepsi sebagai beban berat yang harus didanai pemerintah, tetapi sebagai rutinitas

Kedua, penguasaan bahasa Inggris bagi kalangan dosen dan mahasiswa. Pada umumnya penguasaan bahasa inggris dosen kita bila diukur dengan TOEFEL rata-rata di bawah 500. Jadi penguasaan bahasa Inggris adalah sangat  penting, sehingga dengan menguasai bahasa Inggris dengan baik, mereka mampu mencerna bacaan dalam bahasa Inggris, dan selanjutnya mereka siap untuk menulis akademik dalam bahasa Inggris dengan baik pula.

Ketiga, hakekat pembangunan mesin reproduksi ilmu adalah pembenahan manajemen keilmuan di PT. Oleh karena itu perlu ada kesadaran kolektif  bahwa selama ini kita keliru melihat gelar sebagai indikator penting keberhasilan akademis, pada hal yang dijadikan ukuran pada forum internasional adalah citations, yakni karya tulis. Manajemen PT membuat kebijakan menargetkan pengembangan penerbitan kampus, jurnal internasional, dan buku teks yang ditulis dosen.

Keempat, perlu ditempuh hijrah  sikap secara kolektif terhadap fungsi dan pembinaan keterampilan menulis pada mahasiwa atau dosen, misalnya dengan mewajibkan mengikuti perkuliahan academic writing. Demi kualitas serta untuk menemukan kepercayan mahasiswanya, setiap dosen mestinya menghasilkan sebuah buku teks sesuai bidang keahliannya. Mungkin juga sudah saatnya perkuliahan S1 – S3 disampaikan dalam bahasa inggris.

Kelima, tidak berlebihan dikatakan bahwa  PT di Indonesia sebagai mesin reproduksi pengetahuan kini mengalami krisis reputasi internasional, dan untuk membangun reputasi ini perlu ditegakkan paradigma baru yakni, perlu adanya  rekonstruksi yang mengubah beberapa pandangan teoritis mendasar serta metode pelaksanaannya di lapangan. Aplikasinya PT, perlu ada rekonstruksi pemahaman ihwal budaya tulis dengan mengubah asumsi mendasar ihwal menulis dan pembudayaannya di tingkat PT. Mungkin perubahan sudut pandang seperti ini akan mengubah citra publikasi kaum intelektual Indonesia.

Keenam, pelajaran menulis dan membaca sangat baik kalau dijadikan mata kuliah tersendiri di PT. Demikian pula mata pelajaran bahasa Indonesia perlu diteruskan tidak saja satu semester. Pengalaman penulis ketika membaca karya tulis atau skripsi, tesis atau disertasi mahasiswa maupun dosen saya menjadi sadar bahwa ketidakmampuan untuk menguasai bahasanya sendiri adalah identik dengan ketidakmampuan menggunakan pikiran. Berbicara dan menulis dalam bahasa yang buruk, demikian Franz Magnis Suseno, sama dengan kemampuan berpikir buruk.

Ketujuh, semakin banyak sumber informasi yang tersedia di PT semakin besar kesempatan dosen dan mahasiswa untuk mendapat ilmu baru. Sekarang sudah saatnya, mahasiswa maupun dosen dibiasakan mengakses informasi dari internet dengan tidak mengabaikan sumber-sumber dalam bentuk cetakan. Teknologi ini menawarkan konsep, teori, dan model yang merupakan bahan mentah untuk diracik untuk menghasilkan ilmu baru.

Ben Senang Galus,  penulis buku,   tinggal di Yogyakarta.

Komentar