oleh

Wanita Penanti Doa

Oleh : Venansia Kurniati Mangkut
Guru SDK Ruteng V

 

Persembahan untuk wanita baik itu. Terima kasih telah sabar. Terima kasih telah menjadi kakakku.

Setiap malam adalah panjang
Sebab tetes- tetes air dari netra tak berhenti
Kepada sang penjamah segala doa
Wanita itu duduk meminta
“ Tuhan, tertinggal di mejamu kah doaku?” tanyanya
Sekarang doanya, ya dan amen

*
Di teras rumah, tatapannya menerawang jauh. Sepiring pisang rebus dan seduhan jahe dicampur gula merah di depannya diabaikannya begitu saja. Seperti rumah ditinggal penghuninya. Dingin dan sendiri. Dia adalah lelaki yang sudah sekian tahun hidup denganku. Meneriakkan tawa untuk menghalau sepiku dan menyeka tak terbilang airmata yang jatuh dalam doaku. Namun, sekuat apapun dia terus menghiburku, aku tahu bila di hatinya dia merindukan apa yang kurindukan.
Malam adalah renta manakala hiruk pikuk manusia telah berhenti bertugas. Hanya detak jam dinding dan tetesan air dari keran di kamar mandi kami yang seolah sedang beradu kecepatan. Aku belum hendak kembali tidur. Tidak. Aku bahkan belum tidur sama sekali. Hanya sejak tadi mata kubiarkan tertutup membayangkan yang membahagiakan sekaligus menyakitkan.
Kuputuskan untuk duduk saja di tempat tidur, sesekali mengurut dahi dengan jari-jari tangan kiriku. Aku meraih handphone di meja rias dekat tempat tidur, pukul 03.00 pagi. Aku lalu membuka aplikasi facebook di handphoneku. Beberapa postingan masih seperti sore tadi mengutuk tindakan seorang wanita muda yang membunuh anaknya setelah anak itu dilahirkannya. Entah berapa kali dalam tahun ini kejadian seperti itu terjadi namun Tuhan masih menutup mata untukku. Aku lewatkan saja beberapa postingan lalu merasa jenuh. Kuputuskan untuk mengajak bicara semesta, atau Dia yang di atas sana, atau malah diriku sendiri agar malam tak begitu menyakitkan bagiku.

Aku menangis hingga membangunkan lelaki yang seluruh malam dan siangnya adalah cinta yang memahat bahagiaku. Dia lalu duduk, menggenggam kedua tanganku, meninggalkan tidur dan mimpinya. Lalu memelukku seolah sedang membagi seluruh kekuatannya untukku. Berdua dalam malam yang panjang, menangis bersama, inilah yang membuat kami kembali jatuh pada cinta yang sama di setiap harinya. Meski sungguh perjalanan kami tak selalu akur. Bukankah memang begitulah hidup yang menyatukan dua pribadi? Bukankah tidak ada pernikahan yang begitu sepi dan sunyi? Karena bila sepi ia adalah mati. Maka kami harus riuh ributnya. Agar cinta mengekal dalam caranya.

**
Siang yang terik, membuat diri begitu cepat lelah dan berharap segera sampai di rumah. Kukendarai motor yang baru berapa bulan kudapatkan sebagai hadiah dari lelaki yang selalu kupanggil Adam itu. Lelaki yang selalu mengusahakan aku bahagia meski dalam perdebatan kecil kami. Lelaki yang telah meminta menjagaku di pusara ayahku, dulu.
Aku singgah di sebuah apotek dekat tempat aku bekerja. Aku harus membeli vitamin dan obat darah tinggi untuk ibuku. Sebelum hendak membayar, mataku tertuju pada tumpukkan sebuah benda kecil yang dibungkus. Berapa menit kemudian akupun membayar untuk itu juga.

Komentar