oleh

Kasus Bunuh Diri Meningkat, Semua Pihak harus Bergerak

Ruteng,Swarantt.net – Kasus bunuh diri di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur,Nusa Tenggara Timur beberapa tahun belakang terus meningkat. Motif dan pola dalam setiap kasusnya berbeda.

Dari data yang di rilis Yayasan Mariamoe peduli, tercatat telah terjadi 12 kasus sejak 2018 lalu. Dari 12 kasus ini, 50 % persen atau 6 kasus terjadi di Kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai. Puncaknya terjadi pada 6 juli lalu, seorang remaja di Kelurahan Rowang nekad gantung diri dengan meninggalkan sepucuk surat.

Jumlah kasus bunuh diri yang terus meningkat pada dua Kabupaten ini sebenarnya telah diprediksi oleh Yayasan Mariamoe Peduli (YMP) sebuah lembaga yang berbasis di Ruteng dan concern pada berbagai kasus  termasuk kasus bunuh diri di dua Kabupaten itu.

“Sebenarnya kami telah memprediksi ini sekitar 2 tahun lalu. Ini berdasarkan hasil assesment kami pada beberapa remaja yang pernah melakukan konsultasi psikologi dengan para psiklog kami, saat itu kami telah melakukan prediksi bahwa kasus bunuh diri akan cenderung meningkat kalau tidak ada upaya menghentikannya,”kata Jefrin Haryanto, CEO YMP, pada momentum Coffee talk edisi ke dua dikantor YMP bersama para awak media, Sabtu(13/07/2019).

Apa yang telah diprediksi YMP memang berbanding lurus dengan fakta yang terjadi pada beberapa tahun setelahnya. Korban dalam kasus ini terus berjatuhan. Sayangnya, belum menggugah perhatian semua pihak untuk bersama-sama mencegah agar tidak jatuh korban kembali.

Kenali Tanda dan Solusi Pencegahan
Dalam kesempatan itu, salah seorang Psikolog YMP, Apolinaria Putri Bilo, membeberkan beberapa tanda-tanda agar mengenali orang yang hendak bunuh diri hingga solusi dan aksi nyata yang bisa diterapkan untuk mencegah bunuh diri terjadi. Dalam presentasinya, dia menjelaskan, tanda-tanda yang bisa dikenali pada orang yang berpotensi akan bunuh diri bisa dilihat melalui gejala psikologi seperti sikap putus asa, kehilangan minat, merasa tidak berharga, menyalahkan diri sendiri, gangguan bipolar, anti sosial, mengucapkan selamat tinggal, selalu berbicara tentang kematian dan depresi berat.

“Banyak gejala yang bisa kita temukan pada orang-orang yang berpotensi bunuh diri seperti sikap putus asa. Biasanya juga mereka kehilangan minat, misalnya minatnya sering berloah raga mendadak hilang ataupun minat lains serta gejala lain yang biasanya menjadi penanda seseorang berpotensi bunuh diri,”jelas Bilo.

Terkait kasus bunuh diri yang belakangan terus meningkat, dia mengingatkan pentingnya dilakukan kampanye anti bunuh diri yang menyasar semua elemen dan melibatkan semua pihak. Kampanye yang dilakukan dengan gencar, sambung dia, akan sangat membantu melakukan tindakan pencegahan.

“Semua pihak harus terlibat kampanye untuk mencegah ada korban lagi, misalnya dibuatkan kampanye Sayangi dirimu, sayangi Jiwamu. Kampanye ini menyasar semua kelompok seperti orang tua, sekolah, organisasi pemuda maupun LSM,”jelasnya.

Selain itu, dia juga menyebutkan perlu banyak langkah yang bisa ditempuh agar pencegahan bunuh diri kedepan bisa dilakukan dengan tuntas. Adapun cara lain yang ia maksud seperti menyiapkan kader anti bunuh diri di sekolah-sekolah, melakukan pelatihan para kader anti bunuh diri dan melakukan banyak kegiatan untuk penyaluran minat dan bakat.

Pemerintah dan Lembaga Agama Belum Punya Sikap

Alex Apri Kulas, pewarta Citra Nusa yang hadir dalam Coffe Talk bersama YMP itu, mengingatkan peran semua pihak khususnya Pemerintah dan Lembaga Agama seperti Gereja untuk melihat ini sebagai kasus yang membutuhkan jalan keluar. Selama ini, kata Apri,setiap terjadi kasus bunuh diri selalu ada kecaman dari masyarakat tapi tak sekalipun ada respon dari pihak Pemerintah maupun Gereja.

“Setiap kasus bunuh diri yang terjadi  selalu mendapat kecaman dan sekaligus keprihatinan dari masyarakat. Namun, di satu sisi, belum ada satupun lembaga baik pemerintah maupun gereja yang memberikan atensi terhadap kasus tersebut. Paling tidak, pemerintah kabupaten Manggarai belum mengeluarkan pernyataan, bagaimana langkahnya agar kasus bunuh diri tidak boleh terjadi terjadi lagi di Manggarai. Pemkab Manggarai, dilihat dari sikapnya, masih menganggap bunuh diri sebagai hal yang biasa, tidak mengkategorikannya sebagai kasus yang harus ditangani serius untuk diatasi,” kata Apri.

Senada dengan Apri, Adrian Juru, jurnalis Jurnal Analis, berpendapat, meningkatnya angka kasus bunuh diri seharusnya menjadi tamparan bagi Pemerintah tingkat lokal dan Lembaga Agama seperti Gereja. Fenomena bunuh diri kata dia, merupakan bentuk nyata Pemerintah dan Gereja tak lagi menganyomi masyarakat serta umatnya.

“Meningkatkannya angka bunuh diri di Manggarai sebenarnya menggambarkan kegagalan pemerintah  mengayomi masyarakatnya. Hal ini setali tiga uang dengan pihak gereja yang adem ayem saja,”ujar Juru.

Ada Proses Panjang Sebelum Orang Bunuh Diri
Sementara itu, Ino Jemadu, Pewarta dari Radio Manggarai meyakini, semua kejadian bunuh diri yang terjadi selama ini adalah ujung dari proses panjang dan penyebabnya adalah banyak faktor.

“Mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri ini sebagian besar disebabkan karena Depresi berat dan (mungkin) kelainan jiwa. Pertanyaannya adalah, kenapa sampai depresi berat? Ada sejumlah faktor, seperti misalnya tekanan ekonomi, keterasingan sosial, dan sakit tertentu yang berkepanjangan. Saya kira faktor utamanya adalah tekanan ekonomi,”kata Jemadu.

“Menurut saya, bunuh diri hanyalah bagian ujung dari proses panjang dan rumit dari korban sebelum dia memutuskan menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri. Ada pergolakkan di sana,”tuturnya menambahkan.

Pada kesempatan itu dia juga mengatakan, dirinya tidak sepenuhnya sepakat dengan adanya pendpat yang menyebutkan bahwa pemberitaan media telah berkontribusi meningkatkan kasus bunuh diri selama ini. Menurut dia, dengan banyaknya pemberitaan media justru akan membuka mta banyak pihak sehingga bersama-sama mencarikan solusi.

“Ada sejumlah pendapat bahwa pemberitaan media juga sebagai salah satu pemicu seseorang melakukan bunuh diri. Saya tidak sepenuhnya sependapat. Justru sebaliknya, media harus memberitakannya secara terus-menerus. Bahkan berulang-ulang. Kenapa? Melului pemberitaan yang masif, bunuh diri ini tidak hanya menjadi sekedar berita, tetapi menjadi wacana bagi semua orang, bagi seluruh stake holder untuk mulai memperhatikan ini dengan serius. Menjadikan hal ini sebagai persoalan untuk dipertanggungjawabkan bersama-sama,”tandasnya.

Dia juga menilai saat ini Pemerintah belum peka dan responsif terhadap fenomena ini sehingga diskusi seputar maraknya kasus bunuh diri idealnya melibatkan banyak pihak termasuk Pemerintah dan
stakeholders lain.

“Teman-teman bisa perhatikan sikap Pemerintah. Bisa dibilang, pemerintah sekarang tidak cukup peka dan responsif dengan situasi sosial. Sudah ada belasan kasus bunuh diri. Apa komentar mereka? Apa aksi mereka? Tidak ada. Jadi, diskusi-diskusi seperti ini sudah seharusnya mulai dilakukan di segala sektor. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat umum, lembaga-lembaga pendidikan, dan tentunya gereja. Supaya ke depan, daerah kita menjadi daerah yang memiliki iklim yang positif dalam menyikapi kasus-kasus seperti ini,”tegasnya.

Pada akhir sesi diskusi, Jefrin haryanto yang memoderatori coffe talk ini, membuat beberapa catatan kesimpulan dari diskusi ini, diantaranya,

Pertama, bunuh diri harus dilihat sebagai masalah publik, bukan domestik lagi maka publik harus terlibat dalam mengatasi soal ini, karena Bunuh diri adalah  perwajahan dari kegagalan pembangunan dibanyak sektor,

Kedua, Media memiliki tanggung jawab etik untuk memberitakan kejadian bunuh diri dengan secara ketat mematuhi kode etik dan norma pemberitaan bunuh diri,

Ketiga, Pemerintah dan gereja lokal segera melakukan aksi kongkret terkait masalah ini, berhenti sudah hanya sekedar berwacana. Jefrin menambahkan tiga catatan ini adalah pesan yang disampaikan ke publik dari coffee talk edisi ke dua ini.[Silve]

Komentar