Asas Fictie Hukum dan Dilema Keadilan Masyarakat Pedesaan

Perlu kita ketahui bahawa hukum yang berlaku di Indonesia hari ini merupakan hukum hasil adopsi hukum Belanda termasuk penerapan asas-asas hukum didalamnya. Asas fictie hukum yang diberlakukan Belanda di Indonesia pada saat penjajahannya merupakan upaya paksa dari Negara penjajah tersebut untuk menguasai Indonesia. Dalam bidang keperdataan Belanda menerapkan asas domein verklaring yang artinya bahwa “tanah masyarakat yang tidak dapat dibuktikan dengan surat maka secara otomatis tanah tersebut akan menjadi milik pemerintah (Belanda).

Jelas pada saat itu tanah milik masyarakat masih melekat sistem hak milik menurut hukum adat masing-masing daerah yang mana tidak adat bukti tertulis atau bukti surat. Tujuan diberlakukannya asas tersebut oleh Belanda adalah untuk menguasai tanah masyarakat yang selanjutnya untuk usaha perkebunan Belanda di Indonessia.

Sebagai sebuah asas yang dianggap taken for granted dari sistem hukum Indonesia kolonial (Hindia-Belanda), fiksi hukum seyogyanya ditinjau kembali. Implementasinya di negara kesatuan dengan berjuta-juta pulau seperti Indonesia sudah semestinya segera ditelaah secara kritis. Sebagai sebuah instrumen kebijakan, hukum harus memenuhi tiga segi demi efektivitas pengimplementasiannya.

Pertama, filosofis. Hukum yang diterapkan mesti berada dalam koridor cita hukum (rechtsidee) negara, yakni Pancasila. Pancasila mesti menjadi norma dasar (grundnorm) yang melandasi segala norma yuridis negara. Esensi Pancasila yang terdiri atas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial mesti bisa diekstraksi-formulasikan ke norma-norma kehidupan

Kedua, yuridis. Setelah cita hukum dirumuskan, kesemuanya wajib dijabar-wujudkan dalam instrumen normatif hukum. Instrumen normatif semacam Undang-undang Dasar (UUD), Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan lainnya menjadi wujud representasi, interpretasi, dan implementasi atas Pancasila.

Ketiga, sosiologis. Segi ini meniscayakan bahwa segala norma, ketika diejawantahkan secara teknis dalam peraturan perundang-undangan, seyogyanya tidak melawan nilai-nilai yang telah ada dalam masyarakat. Masyarakat menjadi titik-tolak, sarana, sekaligus tujuan hukum. Keberlakuan hukum, dengan demikian, tak akan terlepas dari masyarakat sebagai sasaran akhirnya.

Kita harus mampu mengkritisi setiap persoalan, contohnya dalam persoalan hukum sekarang ini yang menurut hemat penulis, perlunya merekonstruksi kembali hukum kita, harus benar-benar berdasarkan cita-cita luhur bangsa tentang keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan cara perlunya diberlakukannya sas publisitas atas pemberlakuan Undang-undang di Negara tercinta ini.

Asas Publisitas
Asas fiksi hukum telah menafikan segi sosiologis dari hukum itu sendiri. Rakyat dianggap mengetahui segala peraturan yang dibikin negara. Negara tak berkewajiban melakukan upaya untuk menyuluhi instrumen yuridis yang diterbitkannya. Kewajiban untuk mempublikasikan peraturan ke sebanyak mungkin warga negara dengan sendirinya gugur tatkala Pemerintah secara resmi menempatkannya dalam LembaranNegara.

Asas fiksi hukum yang kini berlaku mesti segera diganti atau harus disertakan dengan asas publisitas, dengan asas publisitas yang mensyaratkan agar masyarakat memiliki akses dalam memperoleh informasi hukum. Asas publisitas menunjukkan, adalah kewajiban pemerintah untuk memublikasikan peraturan perundang-undangan, terutama yang sifatnya mengikat secara umum, agar tercipta masyarakat yang patuh terhadap hukum.

Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan mengatur secara tegas asas publisitas. Pemerintah harus berupaya untuk menyebarkan setiap produk perundang-undangan kepada masyarakat dan tidak serta-merta mengandalkan asas fiksi hukum untuk memastikan keberlakuan hukum.
Budaya hukum masyarakat tidak dapat dipisahkan dari intensitas disseminasi dan penyuluhan yang dilakukan para penyelenggara negara kepada masyarakat. Setiap penyelenggara negara berkewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum. Dengan kata lain, fiksi hukum harus didukung dengan sosialisasi hukum secara memadai.

.

Komentar