Ketiga, dokumen historis yang hilang atau tidak lengkap. Banyak aset tanah di bidang pertahanan merupakan warisan dari masa kolonial atau awal kemerdekaan, sehingga dokumen pengalihan hak atau dasar hukumnya tidak lagi utuh, rusak, atau belum masuk ke sistem administrasi modern. Kondisi ini membuat proses sertipikasi sering terkendala karena sulit menemukan bukti autentik kepemilikan negara.
Wamen Ossy menambahkan bahwa persoalan tersebut berakar dari beberapa masalah struktural, mulai dari warisan sejarah yang panjang, data administrasi yang belum seragam, hingga minimnya sinkronisasi antarinstansi. “Ini yang menjadi PR kita bersama, dan Bapak Menteri berkomitmen untuk menyelesaikan simpang siur data antarinstansi ini,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan sejumlah dampak yang dapat timbul jika persoalan ini tidak segera diselesaikan. Dari sisi hukum, negara berpotensi kehilangan hak atas tanah pertahanan karena tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah. Dari sisi pertahanan, beberapa fasilitas berisiko tidak aman, seperti lapangan latihan yang berbatasan langsung dengan permukiman. Dari sisi sosial, dapat timbul ketegangan dengan masyarakat yang menganggap lahan militer sebagai tanah bebas. Sementara dari sisi tata kelola, aset negara rentan tidak optimal dan mudah disalahgunakan.
“Sehingga kita berharap, Bapak-bapak sekalian, tugas kita bukan mencari siapa yang salah atau benar, tetapi memastikan bahwa tanah pertahanan negara tidak lagi mengambang status hukumnya. Ini menjadi komitmen kami di Kementerian ATR/BPN untuk mendukung TNI, khususnya TNI Angkatan Darat,” tutupnya.
