Bahasa Medsos Sumber Konflik Sosial

Bahasa Medsos Sumber Konflik Sosial   

Oleh: Gusty S   

DEWASA ini aktivitas penyampaian pesan melalui media sosial bergerak begitu deras, hampir tak dapat dibendung. Sugesti what do you think (apa yang kamu dipikirkan) telah menginspirasi dan memotivasi para netizen (warganet) untuk memainkan tombol-tombol keyboard gawainya, merangkai huruf-huruf menjadi kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Ironisnya, semangat berkata-kata secara tertulis ini tidak dibarengi dengan sikap positif penggunaan bahasa.

Acap kali kita temukan ketimpangan komunikasi (miscommunication) antara penulis dan pembaca karena penggunaan bahasa, bahkan tak jarang kita dapati kebablasan berkomunikasi (lost communication) tersebab pengolahan pesan yang tak terkendali atau yang sengaja dibenturkan. Sehingga tidak saja berakibat pada rusaknya sendi-sendi bahasa, tetapi juga hancurnya nilai-nilai persaudaraan antarkomunikan.

Coba perhatikan, bagaimana maraknya kasus ujaran kebencian (hate speech) akhir-akhir ini. Umumnya semua itu berawal dari pesan-pesan yang diviralkan via jejaring sosial.

Mulutmu harimaumu. Kata-katamu adalah kualitas dirimu

Demikian kata pepatah lama dan pepatah baru.

Sikap bahasa berhubungan dengan tiga hal, yaitu (1) sikap yang berkaitan dengan kesetiaan terhadap bahasa (language loyality), (2) sikap yang berkaitan dengan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa (language pride), dan (3) sikap yang berkaitan dengan kesadaran penggunaan bahasa (awareness of the norm). Ketiga sikap tersebut tecermin dari penggunaan bahasa oleh pemiliknya, baik secara lisan maupun tulisan.

Pengguna bahasa yang bersikap positif senantiasa menunjukkan indikasi kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran dalam tulisannya. Hal tersebut terlihat jelas, khususnya dalam pemakaian bahasa Indonesia yang berkaidah (normatif).

Yang paling utama menulis itu membuat kita sehat lahir batin dunia akhirat. Karena aktivitas menulis otak kita selalu aktif berpikir; mencari ide, menyesuaikan fakta, mencocokkan data, mengelaborasi teori, merangkai kata, memvariasikan kalimat, dan menjelaskan gagasan secara efektif: baik, benar, logis, dan sistematis. Tersebab aktivitas menulis, waktu yang terpakai tidak sia-sia.

Karena keasikan menulis kita tidak sempat mengumpat membicarakan keburukan orang lain, tidak ada waktu untuk ber-ghibah mencari-cari kesalahan orang lain. Akibat dari kegiatan menulis, kita memperoleh banyak amal, pahala berlimpah, bahkan pahala itu mengalir jauh sampai berakhirnya dunia ini kelak.

Menulis tidak sekadar mampu menyampaikan pesan dan pesan itu dipahami oleh pembaca. Lebih dari itu, menulis harus menggunakan bahasa yang baik, benar, logis, dan sistematis sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima secara baik oleh pembaca sebagaimana yang dimaksud oleh penulis. Untuk itu, diperlukan media perantara, yang dikenal dengan bahasa yang efektif.

Bahasa yang efektif tidak lain adalah bahasa yang baik, benar, logis, dan sistematis itu. Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan konteks; misalnya di mana, kapan, dan kepada siapa pesan ditujukan. Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah atau aturan. Bahasa yang logis adalah bahasa yang bernalar, masuk akal.

Bahasa yang sistematis adalah bahasa yang bersistem, beraturan, dan berstruktur. Kemampuan menulis dengan menginklutkan keempat barometer tersebutlah yang patut dikatakan terampil.