Bripka Hery Tena, Sosok Bhayangkara Sejati di Pedalaman NTT

Ia juga membantu Andreas, seorang bocah penderita higroma colli—kelainan bawaan di leher. Saat keluarganya sudah menyerah karena biaya pengobatan yang mahal, Bripka Hery menggalang dana secara daring dan membawanya ke rumah sakit untuk menjalani operasi. Kini Andreas sehat dan bisa bermain seperti anak-anak lainnya.

Melayani Bukan untuk Dilihat

Tak ada sorotan kamera. Tak ada publikasi resmi. Apa yang dilakukan Bripka Hery selama ini murni lahir dari hati yang ingin menolong sesama. Ia menempuh medan berat, menyeberangi bukit dan sungai, hanya untuk menjangkau satu-dua warga yang membutuhkan bantuan.

Ia tak menunggu instruksi atau anggaran. Ia bergerak karena empati. Karena percaya bahwa tugas polisi bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat—sebagaimana tercantum dalam konstitusi.

Harapan di Tengah Krisis Kepercayaan

Ketika kepercayaan masyarakat terhadap polisi sedang merosot, sosok seperti Bripka Hery menjadi pengingat bahwa masih ada polisi yang bekerja dengan hati. Polisi yang menjadikan seragamnya sebagai simbol pengabdian, bukan kekuasaan.

Masyarakat Manggarai Timur memujanya diam-diam. Mereka yang pernah dibantu, menyebutnya “malaikat dengan seragam.” Bahkan ada yang berseloroh, “Polisi Hery sebaiknya jadi pastor saja.”

Lebih dari sekadar candaan, itu adalah bentuk penghargaan tertinggi dari rakyat kecil kepada seorang aparat yang benar-benar hadir untuk mereka.

Bukan Pangkat, Tapi Pengabdian

Sudah saatnya institusi Polri menaruh perhatian lebih kepada sosok-sosok seperti Bripka Hery. Apresiasi layak diberikan kepada anggota yang bekerja senyap namun berdampak besar bagi masyarakat.

Jika setiap kantor polisi punya satu saja seperti Hery, maka kepercayaan publik yang kini goyah perlahan akan kembali tumbuh. Karena pada akhirnya, masyarakat tidak menuntut banyak dari polisi—mereka hanya ingin dilayani dengan hati. Dan Bripka Hery telah membuktikan bahwa itu masih mungkin.

News Feed