Dramaturgi Politik Menuju Pemilukada

Oleh: Florianus Jefrinus Dian

Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret

==================================

Hiruk pikuk persiapan pemilukada serentak sudah terasa panas. Agenda-agenda politik sudah meluncur deras, baik visi maupun misi. Baliho-baliho, kampanye politik di media sosial pun nyata sudah bertebaran. Itu artinya masyarakat berhadapan dengan narasi pertarungan visi-misi. Bagi politisi populis-progresif dan memiliki visi-misi yang baik, tentu mendapat perhatian serius dari rakyat.

Bagi rakyat, menebar visi-misi berarti mewujudkannya ketika duduk di kursi pemerintahan. Kenyataannya, di beberapa daerah janji-janji politik itu tidak terealisasi dengan baik oleh kekuasaan. Ada cerita pembangunan yang kurang ramah terhadap rakyat, kerusakan lingkungan, proyek mangkrak, jalan hancur, irigasi mubazir dll.. Cerita-cerita ini mengindikasikan bahwa janji politik itu seringkali sulit dieksekusi. Artinya kekuasaan gagal dalam pembangunan.

Selain pembangunan, reformasi birokrasi tidak dijalankan dengan baik. Terdapat kepincangan dalam mengelola kekuasaan sehingga tampak ada permainan politik dalam menentukan jabatan. Mutasi jabatan yang massif, terstruktur dan sistematis menjelang pemilukada sudah menjadi rahasia umum. Asas meritokrasi hanyalah teori yang berseliweran di buku. Tujuannya jelas yaitu membangun jaring-jaring serta basis dukungan, dari hulu sampai hilir. Inilah wajah politik yang perlu dievaluasi. Segala sesuatu selalu diinstruksi oleh politik.

Panorama pencitraan semakin kuat dan disusun secara canggih. Di beberapa  media misalnya, penciptaan panggung politik sudah dibungkus dengan narasi-narasi “prestasi” politis elit. Kita acungkan jempol untuk “prestasi-prestasi” itu. Sisi lain, ada sinyal kuat upaya elit untuk meredam rapor merah selama kekuasaan. Tidak diberitakan berbagai kagagalan elit di media massa. Mengapa demikian? Karena kegagalan seringkali “membunuh” dan menurunkan elektabilitas. Bagi Kenneth Duva Burke model seperti itu disebut dramatisme. Elit politik sedang berkamuflase dan bermain pentas di atas panggung. Tujuannya ialah menciptakan kekaguman dan keterkejutan bagi masyarakat.

Dramaturgi

Sejalan dengan itu, Erving Goffman mengemukakan konsep dramaturgi. Dramaturgi Goffman menekankan bahwa tindakan sosial seseorang merupakan rentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Dramaturgi dalam ranah  sosiologi sering menitikberatkan pada pengalaman kehidupan sehari-hari. Erving Goffman lalu menarik tindakan sosial sehari-hari sebagai pertunjukan teatrikal (Mulyana, 1999:87).  Melalui teori dramaturgi, Goffman menggambarkan  manusia dalam kehidupan nyata dengan para pemain atau pemeran di atas panggung. Peran manusia ialah memainkan suatu bentuk citra atau bayangan. Tujuan pertunjukan adalah untuk membuat publik percaya terhadap apa yang disajikan.

Menurut Goffman, setiap individu membuat keputusan untuk mempresentasikan dirinya melalui pengelolaan kesan dan melanjutkan pertunjukannya untuk memastikan bahwa citra atau bayangan tersebut mendapat pengaruh. Aspek penting teori dramaturgi dalam konteks komunikasi adalah konsep publik, hubungan antara individu dengan publik. Dalam teori dramaturgi terdapat dua esensi yaitu konsep front stage dan back stage. Dalam interaksi tatap muka, kedua konsep ini saling terhubung satu sama lain, tetapi berada pada dua wilayah yang berbeda.

Komentar