Ngada, SwaraNTT.net -Melangkah ke Kampung Adat Nua Wogo, jiwa seolah diajak menyusuri lorong waktu. Di sini, Sa’o rumah-rumah adat yang berdiri tegap dengan susunan rapi di kiri dan kanan jalan utama menyambut kedatangan siapa saja yang ingin mengenal budaya leluhur yang hidup. Di bawah langit Flores, Nua Wogo bercerita lewat 32 Sa’o yang dihuni oleh 11 suku, setiap bangunannya dibentuk dari tangan-tangan penuh cinta, menggunakan kayu, bambu, dan alang-alang, bahan alam yang menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Yohanes Baghy, Ketua Seksi Pemugaran Kampung Adat Wogo, mengenang sejarah panjang kampung ini. Tumbuh dari akar-akar leluhur yang mengakar, Nua Wogo sempat berpindah lokasi pada tahun 1923 atas kehendak Mori tere Lengi, atau penjaga tanah, Jaja Rade. Perpindahan ini bukan sekadar mengubah tempat, melainkan juga melibatkan perjalanan spiritual yang memakan waktu tiga tahun. Simbol-simbol nenek moyang pun turut berpindah, dijaga dengan penuh hormat dan doa.
![]()
Dimulai dari Baga, simbol leluhur perempuan, yang dibawa dengan penuh bakti pada tahun 1927, sesuai adat matrilineal masyarakat di sini. Di tahun yang sama, Tere Lengi, tempat musyawarah suku, didirikan di pusat kampung sebagai tempat para tetua menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di Nua Wogo. Setahun kemudian, Madu, simbol nenek moyang laki-laki, dipindahkan dengan serangkaian upacara yang meriah, lengkap menandai perjalanan panjang ini.
![]()
![]()
![]()
