Dalam tulisan sederhana ini, Penulis tidaklah berprasangka buruk, apalagi mau menyebarluaskan mbétjik. Namun, dalam tulisan ini, penulis bermaksud untuk menelaah semua tutur kata mbétjik dalam sosial media sebagai bentuk wacana atau pun kritik sosial. Bahwa semua tutur kata mbétjik dari para pemimpin daerah, kandidat atau aktivis serta komentar dari followers memiliki tujuan yang sama yakni bolek loke baca tara, bonum commune, keselamatan dan kebahagiaan kemanusiaan (asalkan semua tutur kata dan tindakan tersebut tetap menempatkan harkat dan martabat manusia di atas segalanya).
“Mbétjik” Sebagai Bentuk Kritik Sosial (Kah?)
Oksinata (2010:33) menjelaskan bahwa kritik sosial merupakan sebuah inovasi. Kritik sosial menjadi model komunikasi dalam masyarakat untuk menyuarakan gagasan baru di samping menilai gagasan lama untuk suatu perubahan sosial dan sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Berdasarkan uraian ini dapat dikonklusikan bahwa kritik sosial merupakan suatu masukan (input), sanggahan, sindiran, tanggapan, atau pun penilaian terhadap sesuatu yang dinilai menyimpang atau melanggar nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kritik sosial muncul karena ada gap antara das sollen dan das sein, antara harapan dan kenyataan yang memiliki dualisme. Problematika itu bisa saja memang sungguh-sungguh ada sebagai bentuk reaksi atau dampak atas perubahan/berjalan di tempat suatu aktivitas bersama. Bisa juga problem itu sengaja diciptakan untuk mencegal lawan. Hemat penulis, problematika tersebut tentunya meresahkan masyarakat. Banyak hal yang diresahkan oleh masyarakat, seperti kemiskinan, kejahatan, gap antara generasi muda dan generasi tua, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan sebagainya. Namun, dalam tulisan sederhana ini, penulis memfokuskan tulisannya pada tutur kata Mbétjik dalam lingkup Sosial Media, khusunya Facebook dalam kontek Pilkada.
Pada bagian terdahulu penulis mengatakan bahwa mbétjik memiliki nuansa negatif dan tidak solutif. Ada ujaran kebencian atas atas tutur kata atau tindakan pihak di luar dirinya tanpa memberikan jalan solusi atas problematika tersebut. Dalam konteks ini penulis mencoba merubah paradigma mbétjik dari sekedar mengolok, mencercai, ujaran kebencian (nuansa negatif) menjadi kritik sosial.
Baca Juga: Birokrasi Penyangga Kapitalisme
Ketika menelusuri informasi dalam sosial media, khusunya Facebook, kerap kali penulis menemukan mbétjik. hemat penulis, keberadaan mbétjik di ruang publik seperti Facebook sangatlah besar. Oleh karena beredar bebas di media sosial, hemat penulis, tak sedikit pula masyarakat yang termakan. Kendatipun inovator sosial media meluncurkan sosial media untuk tujuan edukatif, ekonomis, komunikasi kemanusiaan dan hal-hal positif lainnya serta pemerintah sudah mengatur komunikasi sosial dalam regulasi ITE, namun ada-ada saja pihak tertentu memanfaatkan sosial media untuk mbétjik. Bahkan beberapa waktu lalu pemerintah membatasi akses sosial media untuk beberapa hari dan menjeratkan para pelaku dengan pasal-pasal pelanggaran hukum. Hal ini disebabkan oleh maraknya penggunaan tutur kata mbétjik yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
Selain itu, hal ini terus berkembang pesat oleh karena peran followers menjadi penting. Followers kerap kali mengompori dan mengikuti langkah individu tersebut sehingga pertikaian meluas menjadi antar pengikut. Hemat penulis, tanpa disadari justru Followers dijadikan perisa bagi para pemilik statement untuk mencari dukungan dan mekanisme bela ego, yang hampir pasti jalan tengah hampir tak dimiliki.
Solusinya? Berdialektika. Terkadang berhasil, tetapi lebih banyak gagalnya. Para mbétjikor (orang yang hobi mbétjik) adalah pengecut dan pengemis perhatian dengan selalu memakai dukungan pengikutnya untuk menjatuhkan lawannya. Mereka sering membuat statement baru dan menyebarluaskannya di media sosial untuk dibaca followers-nya, sehingga munculah drama baru. Memang, pada sisi lain, ada followers yang berupaya untuk berdialog dan memaknai mbétjik tersebut dengan nuansa positif, mengungkapkan fakta sosial, menyodorkan jalan keluar atau mengambil nilai positif dari mbétjik tersebut. Dalam konteks ini, followers tersebut mencoba keluar dan membuat suatu paradigma baru dari mbétjik, dari hanya sekedar bernuasa negatif menjadi nuansa positif, atau pun kritik sosial yang membangun.
Hemat penulis, Mbétjik selalu seksi, memikat dan menarik perhatian banyak pihak. Sebenarnya dalam konteks mbétjik, penulis merasa sedikit iba kepada mbétjikor. Para mbétjikor dapat disimpulkan sebagai “orang yang sengaja mencari perhatian” atau sebagai “orang yang kurang perhatian dan hobi mengkambinghitamkan” sosial media untuk mencari perhatian followers. Hemat penulis, tutur kata Mbétjik yang digunakan oleh para mbétjikor sesungguhnya tengah memperlihatkan diri mereka yang yang sangat memprihatinkan, mejadi korban, pesakitan dan karena itu “ingin dikasihani”. Mereka mencoba berakting dan mendramatisasi seolah-olah pihaknyalah yang dirugikan, terkenah musibah dan tertekan. Sungguh menggelikan, menjijik dan mengerikan. Selain itu, Para mbétjikor juga mungkin mengalami gangguan pikiran, perasaan dan kehendak, sehingga mereka begitu ngotot melakukan mekanisme pembelaan diri yang lebih bercorak primitif (primary prosess degence). Mereka mungkin lagi mengalami identity diffusion (kekaburan identitas) dalam terminologi Kernberg. Aktualisasi diri yang keliru ini semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian followers yang konyol juga dan dengan mudah tertipu dan berkomentar yang semakit hot, dan dalam konteks yang bernuansa politik ini, tujuannya tidak lain, memeperoleh dukungan.
Persepsi tentang negatif atau positifnya mbétjik amatlah relatif, tergantung sudut pandang dan siapa audiens atau pembacanya. Mbétjik harus dilihat sebagai penyakit sosial yang harus diobati.