Dampak dari inkonsistensi tersebut membuat antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak serasi. Sehingga perlunya meraba siapa otoritas kewenangan secara hukum untuk melakukan lockdown.
Lockdown sejatinya didasari sebagai wujud dari keadaan bahaya. Secara konseptual, keadaan bahaya terjadi dalam keadaan negara tidak dapat lagi berjalan normal, yang dipengaruhi oleh perang, genosida, bencana alam, dan bencana non alam yang mempengaruhi eksistensi negara. Mengusut norma hukum terkait keadaan bahaya, dikontruksikan mulai dari norma tertinggi dalam UUD 1945 Pasal 12, mengatur Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Namun di tingkat undang-undang, persoalan muncul karena dasar delegasi kewenangan memiliki kerancuan.
Perhatikan seksama, dalam UU No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, kendali atas keadaan bahaya dipegang oleh Presiden bersama TNI. Selanjutnya, dalam UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, baik bencana yang disebabkan alam maupun non-alam, Pemerintah Pusat dan Daerah diberikan kewenangan untuk menentukan sendiri status kedaruratannya. Terkait pandemik Covid-19 sudah sepantasnya sebagai kedaruratan bencana kategori non-alam. Sementara UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan penanggulangan wabah pandemik dilakukan bersama-sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Idul Rishan, 2020).
Artinya, ada 2 (dua) norma undang-undang yang mengizinkan otoritas lockdown dipegang oleh pemerintah daerah. Pertama, UU No 24 Tahun 2007 dan kedua, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Melihat pula teori otonomi daerah, yang memberikan keleluasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan. Oleh karenanya, demi menyelematkan nyawa dan pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat, tidak ada salahnya pemerintah daerah berwenang menetapkan lockdown, dengan pertimbangan dan konsekuensi kebutuhan mendasar masyarakat ditanggung oleh masing-masing keuangan pemerintah daerah.
Local lockdown adalah istilah yang tepat kala kebijakan itu dilakukan oleh pemerintah daerah. Telah viral di media sosial, bahwa local lockdown dilakukan dalam tingkat desa-dusun, kelurahan-kampung. Tanpa mempersoalkan dan menanti kebijakan Pemerintah Pusat, local lockdown di tingkat bawah semata-mata dimaksudkan oleh masyarakat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (vide: Pasal 28A UUD 1945), agar tidak semakin terancam oleh Covid-19.
Memaklumi Pemerintah Pusat yang sampai saat ini belum menelurkan perintah lockdown, karena pada dasarnya konsekuensi yuridis untuk menetapkan kebijakan lockdown bukan perkara yang mudah. Pemerintah Pusat harus menyediakan kebutuhan mendasar bagi setiap warga negara, khususnya soal pangan dan jaminan kesehatan. Jika Negara hadir mematuhi perannya untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia dari wabah Corona, alangkah bijaknya dana yang telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, penyusunan omnibus law, dan insentif promosi pariwisata dialihkan untuk pemenuhan sembako dan hak-hak dasar kebutuhan masyarakat untuk nantinya melaksanakan lockdown. Semoga Bumi Pertiwi lekas pulih dan tersenyum kembali atas cobaan ini.
Admin/SN
Komentar