“Lantas kuasa hukum minta cabut status Tersangka. Kalau hasil penyelidikan menyimpulkan ada pelanggaran hukum, maka masyarakat bertanya siapa yang melanggar hukum. Maka melalui proses penyidikan, Maksimus Ngkeros ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Ahang.
Justru kata Ahang, kalau Maksimus Ngkeros tidak ditetapkan sebagai tersangka maka masyarakat akan menyalahkan polisi. Koq ada pelanggaran hukum tetapi tanpa ada yang ditetapkan sebagai tersangka pelanggar hukum.
“Kuasa hukum Maksimus Ngkeros tidak boleh ikut membodohi masyarakat dengan melemparkan tuduhan bahwa bawaslu dan polisi berkerja untuk paslon tertentu. Itu namanya lempar batu, sembunyi tangan. Itu sikap pengecut. Kalau berani melanggar hukum, harus berani menerima status tersangka,” terang Ahang.
Ahang juga menegaskan, jangan melemparkan kesalahan kepada Bawaslu dan Polisi, “Seperti kata pepatah, kalau memang mukamu buruk, jangan salahkan cermin,”.
Ahang, menilai kuasa hukum Maksimus Ngkeros juga seolah-olah meremehkan masyarakat bahwa masyarakat tidak berani mengadukan Cabup ke aparat penegak hukum.
“Masyarakat sekarang sadar hukum, mana ucapan yang sesuai hukum dan mana yang tidak sesuai dengan hukum. Status cabup tidak membuat seseorang jadi kebal hukum. Maka masyarakat berhak mengadukan seorang cabup ke aparat penegak hukum,” bebernya.
Menurut Ahang, penetapan tersangka terhadap seorang Cabup Maksimus Ngkeros justru jadi pelajaran bagi cabup-cabup lain, kalau mau jadi pemimpin di daerah-daerah, semua kata dan ucapan harus bisa dikontrol. Tidak bisa asal omon-omon saja.
“Masyarakat harus memilih Cabup yang bisa mengontrol mulutnya sendiri, sebelum ia diberi kepercayaan untuk mengontrol mulut masyarakat,” tuturnya.