Manggarai, SwaraNTT.Net – Kegiatan Open Ceremony Festival Golo Curu Riteng, Flores, NTT dilaksanakan begitu semarak dan meriah. Ribuan Masyarakat Manggarai mengikuti pembukaan acara ini dengan melibatkan berbagai etnis dan lintas agama.
Acara yang di gelar pada Kamis (04/10/2023) pelataran parkir gereja katedral Ruten ini, mengikutsertakan umat dari berbagai paroki di Kabupaten Manggarai.
Acara diawali dengan parade etnik menuju gereja katedral Ruteng. Acara pertama menampilkan tarian tiba meka (tarian terima tamu) yang dibawakan oleh SMAK Setia Bhakti Ruteng asuhan pegiat Seni Irna Aburman dan ditutup dengan sanda (Tarian Adat) Manggarai hasil kerja kolaborasi Irna Aburman dan Gabrie Mahal. Acara juga dimeriahkan dengan penampilan drumband dari SMAK St. Fransiskus Xaverius Ruteng.
Ketua Umum Panitia Festival Jahang Fansi Aldus dalam sambutannya mengucapkan rasa syukurnya karena setelah sekian lama persiapan yang dilakukan oleh panitia akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
“hari ini kita hadir dalam acara parade etnik, dan selebrasi kultural Maria Ratu Rosari, dalam rangkian kegiatan festival golo Curu yang ke dua, tahun 2023,kami panitia sungguh bersuka cita sebab akhirnya setelah berbagai persiapan even yang direncanakan akan diselenggarakan setahun sekali ini, tiba di gelaran kedua dan menjadi lebih berkembang”, katanya.
Lebih lanjut Ketua Umum yang juga Sekda Kabupaten Manggarai ini Festival tahun 2023 ini merupakan Festival yang kedua setelah pada tahun 2022 dilaksanakan festival Golo Curu yang pertama. Dari pengalaman pertama diadakan festival lanjutnya pada festival yang kedua ini telah banyak melakukan penyesuaian, perubahan serta penambahan item-item kegiatan.
Festival ini juga kata sekda Fansi sebagai media untuk mempersatukan masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku agama dan ras. Keberhasilan festival ini juga kata dia berkat kerja kolaborasi pihak gereja keuskupan Ruteng dan pemkab Manggarai, serta seluruh masyarakat Manggarai dari berbagai etnik dan lintas agama.
“pada tahun ini ruang festival dibuka secara luas, untuk pelaku ekonomi kreatif, para seniman, pegiat literasi dan kebudayaan, kelompok kreator, kelompok-kepompok kategorial gereja, dan umat lintas etnik, lintas agama, lintas usia, serta semua umat paroki yang terlibat, tidak berlebihan rasanya kalau kami melihat salah satu model persekutuan atau dalam bahasa gereja Katolik dengan nama koinonia, satu dari tugas panggilan kita sebagai gereja umat Allah di muka bumi ini” tutup sekda Fansi.