MANGGARAI, SwaraNTT.net – Polemik panjang soal proyek panas bumi di Poco Leok, Manggarai, kembali mengemuka. Antara janji listrik ramah lingkungan untuk masa depan dan kekhawatiran kerusakan sosial-ekologis, geothermal di Flores bukan sekadar wacana teknis, melainkan medan perdebatan moral, budaya, dan politik.
Ketegangan itu dipertemukan dalam Forum Dialog Geothermal NTT bertajuk “Ada Apa dengan Geothermal: Peluang dan Tantangan Energi Panas Bumi di Flores”, yang digelar di Aula Rosmalen, Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng, pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Forum ini diinisiasi Forum Pemuda Peduli Demokrasi (FP2D) Manggarai bekerja sama dengan pihak kampus, dan diikuti ratusan peserta luring maupun daring.
Lintas pihak hadir, yakni Gubernur NTT, Melki Laka Lena, Bupati Manggarai, Herybertus G. L. Nabit, Kapolres Manggarai, AKBP Hendri Syaputra, Pater Simon Tukan dari JPIC SVD Ruteng, Tony Widiatmoro dari PLN Pusat, Basuki Arif Wijaya, ahli geothermal nasional, serta akademisi Maksimilianus Jemali. Hadir pula suara kritis mahasiswa dari PMKRI, GMNI, BEM Unika, Senat STIE, dan BEM STIPAS Ruteng.
Dialog itu menjadi ruang tawar bagaimana menempatkan energi panas bumi dalam bingkai masa depan Flores tanpa mengorbankan martabat masyarakat adat dan keutuhan ekologi.
Kampus: Dialog sebagai Jalan Tengah
Romo Fransiskus Sawan, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unika, membuka forum dengan penegasan bahwa universitas bukan tempat pertentangan, melainkan ruang musyawarah.
“Isu geothermal bukan semata teknis, tetapi menyentuh ekologi, budaya, sosial, bahkan moral. Kampus hadir agar semua suara didengar, bukan untuk menentukan siapa benar siapa salah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Gereja Katolik melalui Keuskupan Ruteng telah menyatakan sikap menolak proyek geothermal. Namun, forum ini dimaksudkan untuk menggali dasar penolakan itu dan mencari ruang rekonsiliasi.
“Perbedaan pandangan bukan kontradiksi, melainkan dinamika kreatif yang bisa melahirkan solusi bersama,” tegasnya.
Gubernur NTT: Energi Panas Bumi Bukan Tambang
Dari Kupang, Gubernur Melki Laka Lena hadir melalui Zoom. Ia menegaskan perbedaan mendasar antara tambang dan geothermal.
“Panas bumi bukan tambang. Tambang itu eksploitatif, sedangkan panas bumi adalah energi terbarukan. Ia mengambil uap air, bukan merusak tanah,” katanya.
Gubernur memaparkan data potensi energi NTT: 60.000 MW tenaga surya, 10.108 MW angin, 26.000 MW bioenergi, 369 MW hidro, dan 1.969 MW panas bumi.
“Angka ini modal besar untuk menjadikan NTT mandiri energi, bukan sekadar bergantung pada BBM,” ujarnya.
Ia mencontohkan PLTP Ulumbu 10 MW yang kini menerangi 30.000 rumah di Manggarai, “Itu bukti nyata. Panas bumi bisa menjadi solusi, bukan sekadar wacana”.
Namun, ia juga menekankan aspek sosial, “Lebih penting dari teknologi adalah rasa aman. Masyarakat harus terlibat dan mendapat manfaat nyata. Pemerintah membuka ruang dialog agar setiap keluhan tidak diabaikan,” katanya.