Panas Bumi, Suara Rakyat: Dialog Geothermal Ruteng Jadi Ruang Tawar Masa Depan Flores

Bupati Manggarai: Poco Leok Persoalan “Unprecedented”

Bupati Herybertus G. L. Nabit menyebut geothermal Poco Leok sebagai kasus unprecedented, belum pernah dihadapi sebelumnya. Dulu, kata Bupati Hery, kita sepakat menjaga lingkungan dan hak masyarakat, sekarang tafsirnya berbeda-beda, bahkan dalam adat.

“Tanah ulayat yang sudah dibagi kini diperdebatkan lagi. Ini membuat persoalan makin rumit,” jelasnya.

Ia menegaskan, kebutuhan listrik tetap mendesak, “Tanpa listrik, pendidikan terbatas, ekonomi lambat, pertanian stagnan. Kita harus menyiapkan hari ini untuk 10–15 tahun mendatang”.

Bupati Hery juga menekankan perlunya dialog dengan Gereja, “Kami menghormati Uskup dan Gereja, tapi kami juga melayani seluruh masyarakat. Rekonsiliasi adalah jalan bersama demi kesejahteraan semua”.

Kapolres: Polarisasi Jadi Ancaman

Kapolres Manggarai, AKBP Hendri Syaputra, menyoroti dimensi keamanan sosial, “Masyarakat kini terbagi tiga: mendukung, menolak, dan netral. Bahkan ada yang bergeser posisi. Itu menimbulkan kecurigaan, memicu konflik kecil”.

Ia mencatat ada 21 aksi demonstrasi soal geothermal, “Setiap aksi menguras ratusan personel. Energi aparat terkuras, psikologi masyarakat ikut tegang”.

Namun, ia menolak represif, “Musyawarah adat seperti ritual adat harus dikedepankan. Itu lebih sejalan dengan budaya Manggarai”.

Gereja: Menolak demi HAM dan Ekologi

Pater Simon Tukan, JPIC SVD Ruteng, menyuarakan sikap kritis Gereja, “Kami menolak bukan karena anti pembangunan, tetapi karena ada indikasi pelanggaran HAM: pemaksaan, kriminalisasi warga, dan ancaman terhadap hak adat.

Ia mengutip ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus: bumi adalah rumah bersama, “Memanfaatkan alam sambil meninggalkan penderitaan adalah dosa ekologis”.

Pater Simon mengingatkan risiko geothermal: pencemaran air, gempa minor, penurunan tanah, konflik sosial, hingga hilangnya kearifan lokal.

“Geothermal berpotensi menggerus jantung budaya Manggarai, yakni harmoni manusia dan alam,” katanya.

PLN: Teknologi Aman, Jejak Lahan Minim

Tony Widiatmoro dari PLN Pusat mencoba meluruskan persepsi, “Setelah pengeboran, semua alat dibongkar. Hanya kepala sumur yang tersisa. Lahan yang dipakai sangat minimal.

Debit air pun dikontrol, sekitar 40 liter per detik dengan sistem kolam penampungan, “Keselamatan kami jaga dalam empat lapis: pekerja, masyarakat, lingkungan, dan instalasi. Semua sesuai standar nasional dan internasional”.