Menurut Nani Afrida, jurnalis semestinya diberikan akses dalam melakukan liputan, mengingat bahwa memberikan keterangan kepada jurnalis merupakan kewajiban pemerintah untuk mengklarifikasi informasi yang sedang beredar di tengah masyarakat.
Dengan merespons jurnalis, katanya saat diwawancarai Floresa, justru pemerintah mendapatkan kesempatan memberikan informasi sejelas-jelasnya untuk masyarakat.
Nani Afrida berkata, tindakan Ani bisa dipidana karena masuk kategori menghalangi kerja jurnalis.
Hal ini, katanya, diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang menyatakan, “bagi seseorang yang dengan sengaja menghalangi wartawan menjalankan tugasnya dalam mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi dapat dikenakan pidana.”
Ia menjelaskan, masalah pembenahan alat kesehatan di rumah sakit itu adalah kewajiban internal dinas.
“Tidak ada hubungannya dengan tugas jurnalis yang berhak mendapatkan informasi untuk publik,” kata Nani.
Klarifikasi Dinas Kesehatan
Dalam laporan Floresa, Dinkes Matim mengklarifikasi pemberitaan di sejumlah media soal aksi Sekretaris Dinas, Pranata Kristiani Agas yang diberitakan melarang jurnalis meliput kondisi terkini salah satu rumah sakit, mengklaim informasi larangan itu tidak benar.
Kepala Dinas Kesehatan, Surip Tintin mengkategorikan informasi larangan peliputan yang disampaikan Nardi Jaya, jurnalis Suaraburuh.com itu sebagai disinformasi yang merugikan citra institusinya dan Rumah Sakit Pratama Watunggong.
“Itu sebuah tudingan yang tidak benar dan tidak menggambarkan keutuhan kronologi yang terjadi,” katanya melalui siaran pers pada 18 September kepada sejumlah Wartawan.
Menurut Tintin, Permintaan terkait liputan Alkes ditolak Ani karena alat kesehatan rumah sakit tersebut “ditempatkan pada ruang perawatan.”
“Memotret alat kesehatan di ruang perawatan berpotensi melanggar hak pasien dan kewajiban rumah sakit menjaga privasi pasien, berdasarkan kaidah hospital bylaws,” merujuk pada aturan dasar internal tentang tata cara penyelenggaraan rumah sakit.
Larangan itu, kata Tintin, juga termuat dalam dalam imbauan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia [PERSI] Nomor: 987/ 1A/ PP.PERSI/ II/2018, tentang larangan untuk memfoto atau merekam video di area rumah sakit.
Karena itu, katanya, Dinas Kesehatan tidak memberikan izin untuk mendokumentasikan alat kesehatan di rumah sakit tersebut.
Tintin berkata, dinasnya maupun rumah sakit tidak pernah melarang aktivitas pers untuk mendapatkan informasi.
Institusinya, kata dia, berkewajiban mengingatkan peraturan-peraturan terkait hak pasien maupun segala hal yang berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ani Agas yang Pernah Terseret Kasus Korupsi
Selama bekerja di Dinas Kesehatan, Ani sempat terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat habis pakai dan regentia pada Tahun Anggaran 2013.
Proyek senilai Rp 894,9 juta dengan kerugian negara mencapai Rp 150 juta itu menyeret sejumlah pejabat ke penjara.
Beberapa diantaranya adalah Kepala Dinas Kesehatan, Phillipus Mantur; Sekretaris Dinas Sulpisius Galmin dan Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Kasmir Gon.
Ketiganya sudah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang pada 14 Februari 2017.
Ani yang berperan sebagai anggota Pokja dalam proyek tersebut baru ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri Manggarai sebagai tersangka bersama dua rekannya yakni Siprianus G Kaleng dan Fransiskus Don pada Selasa 15 Agustus 2017.
Mereka kemudian didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2011 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, sebagaimana dalam dakwaan primer.
Dua rekannya itu pun langsung ditahan di Rutan Kelas IIB Carep, Ruteng, sementara Ani hanya menjadi tahanan kota lantaran masih menyusui bayinya.
Pada Agustus 2017, Ani divonis bebas, berbeda dengan yang diterima dua rekannya, Siprianus dan Fransiskus, yang masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara.
Laporan: Yunt Tegu
![]()
![]()
