Refleksi HUT ke- 80 RI

3. Isu Sumber Daya Manusia (SDM):

* Kualitas Pendidikan: Akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah terpencil, masih menjadi tantangan besar. Tingkat putus sekolah, fasilitas yang tidak memadai, dan kesenjangan kualitas guru mempengaruhi daya saing generasi muda.

* Kesehatan Dasar: Akses terhadap layanan kesehatan berkualitas, terutama di daerah terpencil dan kepulauan, masih terbatas. Isu gizi buruk, stunting, dan penyakit menular masih tinggi.

* Eksodus Tenaga Terdidik: Minimnya lapangan kerja berkualitas di dalam provinsi memicu eksodus besar-besaran tenaga terdidik dan terampil (brain drain) ke luar NTT, memperlemah potensi pembangunan lokal.

4. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan:

* Degradasi Lingkungan: Praktik pertanian ladang berpindah, alih fungsi lahan, dan tekanan pada sumber daya air di musim kemarau memperparah degradasi lingkungan. Kerentanan terhadap perubahan iklim (kekeringan, cuaca ekstrem) sangat tinggi.

* Potensi vs Realisasi: Potensi besar kelautan, perikanan, pariwisata alam dan budaya, serta energi terbarukan (matahari, angin) belum dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Eksploitasi SDA (seperti tambang) seringkali minim manfaat langsung bagi masyarakat sekitar dan menyisakan masalah lingkungan.

5. Otonomi Daerah dan Pemerintahan:

* Kapasitas Birokrasi: Kapasitas dan efektivitas birokrasi di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan masih perlu ditingkatkan.

* Korupsi dan Inefisiensi: Isu korupsi, nepotisme, dan inefisiensi dalam penggunaan anggaran (APBD) masih menjadi momok yang menghambat percepatan pembangunan dan pelayanan publik.

* Partisipasi Masyarakat: Ruang partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengambilan keputusan, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat, seringkali masih terbatas.

Refleksi untuk Masa Depan

Memasuki usia ke-80 RI, NTT membutuhkan perubahan paradigma pembangunan yang lebih berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan:

1. Kebijakan Afirmatif yang Nyata: Pemerintah Pusat perlu memperkuat kebijakan afirmatif khusus untuk daerah tertinggal, kepulauan, dan terluar seperti NTT, terutama dalam alokasi anggaran infrastruktur dasar, pendidikan, dan kesehatan.

2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal Berbasis Potensi: Mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan lokal untuk menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja di dalam daerah. Memperkuat koperasi dan UMKM.

3. Investasi Besar-besaran di SDM: Meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan lokal dan global. Memperbaiki akses dan kualitas layanan kesehatan dasar, khususnya penanganan stunting dan gizi buruk.

4. Pembangunan Berkelanjutan dan Adaptasi Iklim: Mendorong praktik pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Membangun infrastruktur yang tangguh bencana dan sistem ketahanan pangan berbasis lokal.

5. Pemerintahan yang Bersih dan Partisipatif: Memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bebas korupsi. Memastikan partisipasi aktif masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan.

6. Optimalisasi Potensi Maritim dan EBT: Memprioritaskan pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan dan investasi besar-besaran pada energi baru terbarukan (surya, angin) untuk mencapai ketahanan energi dan mendorong industri.

Di usia ke-80 RI, semangat kemerdekaan bagi NTT harus berarti pembebasan dari belenggu ketertinggalan dan ketimpangan. Refleksi kritis ini bukan untuk mengabaikan kemajuan yang ada, tetapi untuk menegaskan bahwa perjalanan menuju keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk saudara-saudara di NTT, masih sangat panjang. Diperlukan komitmen kuat, kebijakan yang tepat sasaran, dan kolaborasi semua pihak (pemerintah pusat-daerah, swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat adat) untuk mewujudkan NTT yang sejahtera, mandiri, dan berdaulat di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usia 80 tahun harus menjadi momentum untuk akselerasi pembangunan yang berkeadilan di Bumi Flobamora.