Santri di Medan Baru: Dari Bambu Runcing ke Jihad Digital

Santri dan Ancaman Radikalisme Digital

IPTU Silvester Guntur membawa perspektif keamanan nasional. Ia menjelaskan bahwa radikalisme modern kini tumbuh melalui ruang digital, video, podcast dan konten keagamaan ekstrem di media sosial.

Menurut data BNPT (2023), sebanyak 12% pemuda usia 17–25 tahun pernah terpapar konten intoleran atau kekerasan daring. Sementara UNODC (2024) mencatat 70% rekrutmen terorisme modern dimulai dari ruang maya.

“Terorisme bukan soal agama. Ia adalah penyimpangan tafsir dan ambisi politik,” tegasnya, mengutip Menko Polhukam Mahfud MD.

Silvester menekankan pentingnya 4 Pilar Ketahanan Diri (versi BNPT):

  1. Ketahanan Ideologi – memahami Pancasila dan ajaran agama secara utuh.
  2. Ketahanan Psikologis – mampu mengelola emosi dan tidak mudah terprovokasi.
  3. Ketahanan Sosial – aktif dalam pergaulan lintas iman dan budaya.
  4. Ketahanan Digital – cerdas bermedia sosial dan memerangi hoaks.

Sementara itu, nilai kebangsaan harus terus dijaga lewat 4 Pilar Kebangsaan:
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Silvester mengingatkan bahwa meskipun Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai daerah toleran, infiltrasi ideologi ekstrem tetap mungkin terjadi. Ia menyinggung beberapa kasus di NTT yang menunjukkan bagaimana anak muda dapat direkrut jika tak memiliki ketahanan ideologis dan literasi digital.

“Bahkan di Manggarai Barat, di mana dalam satu rumah bisa menganut agama berbeda dan tetap hidup damai, ancaman itu tetap ada,” katanya.

Ia juga menegaskan pentingnya pendekatan sistemik dan inklusif, bukan sekadar represif, dalam mencegah radikalisme.

Kekhawatiran dan Harapan dari Madrasah

Dalam sesi tanya jawab, seorang guru, Ibu Rahmah, mengungkapkan kegelisahan atas murid-muridnya yang mudah terpapar konten intoleran. Silvester menanggapinya:

“Anak yang mulai intoleran akan mudah menolak pendapat orang lain. Guru harus hadir bukan sebagai pengawas, tetapi sahabat dialog.”

Ia menyebut lima langkah sederhana pencegahan:

  1. Menanamkan nilai toleransi.
  2. Melatih berpikir kritis.
  3. Mendorong diskusi terbuka.
  4. Mengajarkan agama secara moderat.
  5. Memberi keteladanan dari guru dan orang tua.

Sementara itu, Siti Farida, pelajar SMK Negeri 3 Komodo, bertanya tentang cara menghadapi banjir hoaks. Ustaz Ali Akbar menjawab:

“Hoaks bisa diuji, bisa diverifikasi. Tapi kalau hati sudah tertutup, semua akan dianggap benar. Maka rawatlah hati, pilih lingkungan yang baik, dan carilah guru yang tepat.

Menjadi Penjaga Kedamaian

Peringatan Hari Santri 2025 di Manggarai Barat memperlihatkan wajah baru kebangsaan, kolaborasi antara pesantren, pemerintah daerah, dan aparat keamanan.

Meskipun data lokal belum terdokumentasi secara rinci, riset IndoToxic (2024) menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat ujaran kebencian daring di Indonesia.

Fakta ini menegaskan bahwa perjuangan santri kini berada di ruang digital, tempat narasi kebencian masih kuat.

Namun dari lapangan Ar-Rahman hingga aula madrasah, semangat kebangsaan itu tetap menyala: Santri bukan hanya benteng moral masa lalu, tetapi garda depan peradaban masa depan.

“Bangsa ini tidak membutuhkan generasi yang hanya pandai berbicara tentang perbedaan, tetapi generasi yang mampu menjaganya dengan kasih, empati, dan kebijaksanaan.”