Manggarai Barat, SwaraNTT.net – Langit pagi di Marombok, Kabupaten Manggarai Barat, berwarna biru muda ketika ratusan santri, guru, dan tokoh agama berdiri tegak di lapangan Madrasah Ibtidaiyah Ar-Rahman, pada 22 Oktober 2025
Tepat pukul 07.38 Wita, lagu Indonesia Raya bergema di udara Flores bagian barat, menandai dimulainya upacara peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang mengusung tema:
“Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” Tema ini bukan sekadar slogan seremonial, tetapi panggilan moral bagi santri untuk melanjutkan semangat Resolusi Jihad 1945 dalam bentuk baru: jihad digital, perjuangan melawan disinformasi, radikalisme, dan perang ideologi di ruang maya.
Dari Bambu Runcing ke Pena dan Pikiran
Wakil Bupati Manggarai Barat, Yulianus Weng, M.Kes., bertindak sebagai pembina upacara. Dalam amanatnya, ia menegaskan bahwa penetapan Hari Santri melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 bukan sekadar penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga mandat untuk masa depan.
“Santri adalah benteng moral bangsa. Dulu mereka berjuang dengan bambu runcing, sekarang mereka berjuang dengan pena, pikiran, dan teknologi,” ujarnya.
Ia menegaskan, medan perjuangan kini telah bergeser: dari perang fisik menjadi perang ideologis di ruang digital. Hoaks, ujaran kebencian, dan ekstremisme menjadi ancaman baru yang menggerus nilai kebangsaan.
“Santri harus hadir di dunia maya sebagai penjaga akidah, penggerak kebangsaan, dan penyambung nilai kemanusiaan,” tambahnya.
Dialog Kebangsaan: Ilmu, Akhlak dan Tantangan Zaman
Usai upacara, aula madrasah sederhana itu menjelma ruang diskusi. Dalam Dialog Kebangsaan bertema “Penguatan Nilai Kebangsaan Santri dan Pelajar”, Ketua PC Nahdlatul Ulama (NU) Manggarai Barat, Haji Ishak Muhamad Jabi, membuka acara dengan pesan singkat:
“Peringatan Hari Santri bukan hanya milik pesantren, ini adalah wujud cinta tanah air. Santri harus berjihad, bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu dan akhlak.”
Sementara itu, Wakil Bupati Manggarai Barat, Yulianus Weng kembali menegaskan, bila dahulu KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad yang melahirkan Hari Pahlawan 10 November, maka kini perang terbesar adalah melawan kebodohan, kemiskinan, radikalisme, hoaks dan narkoba.
Acara dilanjutkan dengan dua narasumber utama: Ustaz Ali Akbar, akademisi pesantren, dan IPTU Silvester Guntur dari Tim Cegah Satgaswil NTT Densus 88 AT Polri, dengan moderator Ustaz Bayu yang menegaskan:
Ilmu dan Akhlak sebagai Fondasi Peradaban
Ustaz Ali Akbar membuka paparannya dengan kalimat reflektif:
“Apalah arti ilmu jika tak diikat oleh akhlak? Banyak orang berilmu, tapi kehilangan moral, menjadi koruptor, bahkan teroris.” Ucapnya.
Menurutnya, akar radikalisme tidak hanya ideologi, melainkan krisis moral dan spiritual. Menuntut ilmu memang fardhu, tetapi menjaga akhlak adalah syarat agar ilmu membawa rahmat, bukan laknat.
Ia menegaskan bahwa “santri” bukan hanya mereka yang mondok di pesantren, tetapi siapa saja yang menuntut ilmu dengan rendah hati dan berjuang demi kemanusiaan.
“Belajarlah kitab, tapi juga kuasai bahasa, teknologi, dan etika digital,” pesannya.