By: Hendrik Masur
Anak Kampung Lante, Reok Barat, Manggarai. Mengajar bahasa Inggris di Jakarta Nanyang School.
“There is no true word that is not at the same time a praxis. Thus, to speak a true word is to transform the world.” – Paulo Freire
Salam Sejahtera, Bapak Gubernur. Salam hormat.
Semoga Bapak Victor dalam keadaan sehat. Saya membaca di media bahwasannya Bapak lebih kurus dari sebelumnya. Adalah Anggota DPR Fahri Hamzah, sahabat Bapak, yang mengabarkannya. Saya percaya berat badan Bapak turun karena sibuk memikirkan nasib rakyat NTT, bukan karena tersedot kursi kekuasaan gubernur yang empuk.
Perkenankanlah saya menyapa Bapak Gubernur dengan ‘Bung’. Terasa lebih dekat, akrab dan egaliter karena sapaan ‘bung’ memangkas jarak antara kita. Terdengar lancang dan tidak sopan barangkali bagi kita orang NTT, terutama karena posisi saya sebagai rakyat biasa. Tetapi Soekarno, Hatta dan Syahrir rela saja dipanggil Bung. Semoga Bung Victor juga demikian.
Bung Victor, meski secara geografis saya berdomisili cukup jauh dari NTT, saya selalu berusaha mengikuti perkembangan provinsi asal saya. Tapi apa sebetulnya arti jauh ketika revolusi teknologi merelatifkan makna jarak dan waktu. Setiap menit, siapa saja bisa mendengar, membaca dan kadang ikut berkomentar tentang NTT dan segenap kompleksitas masalahnya. Seribu terima kasih kita alamatkan kepada mereka yang telah mengabdikan diri untuk kemajuan teknologi zaman ini.
Sering saya mendengar dan membaca tentang sepak terjang dan gebrakan Bung Victor di awal pelayanan sebagai gubernur. Bung sering muncul di banyak media cetak, portal berita online dan banyak dibahas orang di media sosial. Bung berhasil menjadi news maker.
Sering pula saya membaca komentar orang yang mengaggap Bung Victor sebagai pribadi ‘kontroversial’ lantaran pidato atau sekadar ucapan lepas Bung yang sering diluar pakem, out of the box. Kontroversi biasanya melahirkan diskursus, menghidupkan diskusi publik, dan tidak jarang berujung pada konsensus. Tentu ada pula silang pendapat. Dalam determinisme historis Hegelian, kontroversi bisa dianggap semacam aliran antitesa, yang semoga bisa bermuara pada sintesa baru. Cara pandang baru. Keadaan baru.
Tak perlu kiranya saya membuat sejenis litani kontroversi yang Bung Viktor hasilkan setelah terpilih Juni 2018 lalu. Ruang ini sepertinya tak cukup untuk itu. Lagi pula saya lebih suka menyebut kontroversi sebagai buah pikiran. Toh, setiap ujaran seorang pemimpin, apalagi pidato, pastilah memiliki alas pikir yang kokoh, melewati saringan akal yang ketat, dan dirumuskan dengan akurat sebelum diucapkan. Itu yang membedakan buah pikiran dari fantasi, atau sekedar asal bunyi. Lebih dari itu, saya sepenuhnya yakin setiap wacana yang Bung Viktor lemparkan ke publik pasti bersumber dari kontemplasi yang dalam tentang masalah kita, masalah NTT, Nusa Tetap Tertinggal. Singkatnya, kata-kata Bung adalah format dari keprihatian.
Permasalahan NTT sepertinya lebih pelik dari sekadar mengurai benang kusut. Bung pasti lebih paham soal ini. Yang perlu kita cari bersama adalah pokok masalahnya, sesuatu yang lebih sulit lagi. Menurut hasil penilaian banyak orang, aliran air keruh yang utama bersumber pada puncak birokrasi yang rapuh. Hipotesis saya, NTT itu lebih sebagai nusa tidak terurus.
Tetapi, saya banyak mendengar Bung Viktor mengatakan kemiskinan kita terutama karena kemalasan. Mungkin itu sebabnya mengapa Bung mengutuk orang miskin sebagai penghuni neraka kelak, dan sebaliknya sangat simpatik dengan mereka yang waktu tidurnya lebih pendek.
Siapa yang malas sebetulnya? Jika ditempatkan dalam bingkai teoritis, kita berada pada posisi diametral dalam perdebatan klasik tentang kemiskinan antara kaum kanan dan kaum kiri. Menurut observasi Bung yang malas adalah rakyat NTT, namun hemat saya yang malas adalah tubuh birokrasi yang nyaman beroperasi dalam sistem kekuasaan yang bercorak feodalistik-paternalistik.. Bung Victor melihat kemiskinan sebagai akibat dari tabiat rakyat yang malas, sementara saya membaca kemiskinan sebagai akibat dari watak dan sistem kekuasaan politik dan birokrasi yang koruptif. Bung Victor melihat kemiskinan sebagai fenomena individual yaitu akumulasi dari sikap dan mental individual yang enggan keluar dari kemiskinan (individual failing), sebaliknya saya memandang kemiskinan lebih sebagai masalah kegagalan struktur politik dan birokrasi (structural failings) (Baca Rank, Yoon, Hirschl. 2003. American Poverty as a Structural Failing: Evidence and Arguments, The Journal of Sociology and Social Welfare, 30). Meski saya juga yakin, sebab kemiskinan NTT tak selalu tunggal, bisa jadi karena kombinasi aneh dari kultur dan struktur.
Kita membutuhkan studi yang komprehensif soal ini. Karena itu, Bung Victor perlu memberi tempat kepada putra-putri terbaik NTT yang menyebar di pelbagai lapangan kehidupan, kampus, dan birokrasi untuk mencari tahu sebabnya. Hal ini penting terutama supaya kemiskinan dan keterbelakangan tidak diteropong dari kursi kekuasaan, yang tentu saja membenarkan cara pandang kekuasaan itu sendiri. Karena mengatakan kemalasan sebagai sumber kemiskinan berarti menafikan kekuasaan dan birokrasi yang disfungsional.
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa begitu banyak gagasan Bung Victor yang sudah dilepaskan ke publik dalam upaya membuat NTT menjadi lebe bae. Saya percaya bahwa semua gagasan itu telah diproses di “dapur” gubernur melalui “kepala” para koki berkelas dan melibatkan semua pemerintah kabupaten se-NTT. Dengan kata lain, lontaran-lontaran pernyataan Bung Viktor yang bagi sebagaian orang kontroversial, semestinya berbasis pada semacam blue print pembangunan NTT sebagai kompas yang memandu Bung Victor dan setiap pemkab selama 5 tahun ke depan.
Jika blue print itu ada, elok kiranya jika dibagi ke khalayak ramai NTT supaya dijadikan point of reference, sejenis intisari narasi pembangunan yang akan kita diskusikan, perdebatkan dan kembangkan bersama. Tentu saja ini menjadi mungkin jika Bung Victor mengembangkan model kepemimpinan yang partisipatif dan deliberatif. Bahwa semua elemen masyarakat diajak terlibat dan bekerja sama untuk kemajuan NTT. Lebih dari itu, langkah ini mengubah bandul pembangunan yang selalu power-centered ke model pembangunan sebagai gerakan politik yang membebaskan, political movement.
![]()
![]()
![]()
Komentar