Kesalahpahaman sehubungan dengan isu di atas, kata Ali Ashat, terjadi lantaran anggapan bahwa setiap geothermal sama. Padahal terdapat beberapa jenis geothermal dengan sistem kerja yang berbeda. Oleh sebab itu, risiko geothermal di suatu negara belum tentu sama dengan negara lain.
“Geothermal ada beberapa jenis; geopressured, hot sedimentary equifer, hydrothermal, petrothermal, engineered geothermal. Di Indonesia, sistemnya hydrothermal. Jadi sudah ada panasnya dan sudah ada airnya tinggal mengambil,” jelas Ali Ashat.
Di samping itu, pengembangan geothermal dilakukan melalui tahapan yang ketat dan terukur menggunakan teknologi yang telah teruji. Perlatan bor, misalnya, dalam proses pengeboran, menggunakan teknologi yang efisien, andal, dan terjamin melalui sistem otomatis yang cerdas sehingga mampu memprediksi dan mencegah kegagalan saat eksplorasi. Jaminan keselamatan ini menjadi perhatian utama dalam tahap pengeboran.
“Dari awal sudah dilakukan monitor. Pada saat sudah beroperasi tetap dimonitor terus menerus sehingga nanti akan bisa dilakukan manajemen supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Selain Ali Ashat, harapan pengembangan geothermal di Pulau Flores juga datang dari ahli geothermal Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami. Dalam audiensi lanjutan bersama Pemprov NTT, Ditjen EBTKE, dan pengembang panas bumi beberapa hari lalu, Pri Utami menegaskan bahwa panas bumi di Flores merupakan anugerah Tuhan dan telah diteliti bertahun-tahun oleh ahli sehingga menjadi sebuah wilayah kerja panas bumi (WKP).
Pri Utami menjelaskan, berdasarkan penelitian telah ditetapkan bahwa geothermal bukanlah tambang. Aktivitas eksplorasi geothermal dilakukan dengan memanfaatkan energi panas bumi yang terbarukan, bukan mengeksploitasi sumber daya alam terbatas. Dengan demikian, kelestarian lingkungan tetap terjaga dan kesejahteraan dapat dicapai.