“Pasti akan muncul manifestasi seperti lubang uap panas, lumpur, suara gemuruh dan bau belerang. Ini perlu diperhatikan dan dikelolah agar bisa dijaga keselamatan dan bahkan bisa saja menjadi tempat wisata, pemanas atau pengering hasil pertanian dan pembangkit listrik,” kata Pri Utami.
Asap atau uap yang keluar dari manifestasi, kata Pri Utami, merupakan gejala alami dari aktivitas bawah permukaan bumi dan tidak serta-merta disebabkan oleh pengembangan geothermal, seperti yang terjadi di Kawah Sikidang, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Nama Sikidang berasal dari “kidang” atau “kijang”. Nama ini digunakan berdasarkan letak kawah utama yang berpindah-pindah layaknya kijang yang senang melompat ke sana kemari.
“Seperti di Kawah Sikidang, Dieng, manifestasi itu berpindah-pindah bahkan sejak sebelum adanya kegiatan pengeboran. ini sudah terjadi bahkan sebelum kita lahir,” ujar Pri Utami.
Meneruskan pernyataan Ali Ashat dan Pri Utami, General Manager (GM) PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra), Yasir, menjelaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan pendekatan humanis kepada masyarakat lokal agar masyarakat semakin memahami pentingnya transisi energi.
PLN, kata GM Yasir, terus mempererat sinergi dengan masyarakat lokal melalui sejumlah program sosialisasi, mulai dari free, prior and informed consent (FPIC) hingga tabe gendang yang merupakan tradisi masyarakat lokal.