Oleh: Edi Danggur (Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta)
Gereja tidak berhak memaksakan keputusan akhir menolak geothermal. Apalagi, kalau sampai para uskup mengajak umat melakukan resistensi terhadap proyek geothermal di Flores.
Ada beberapa alasan. Pertama, negara kita bukan negara agama, bukan negara yang mendasarkan segala kebijakan di ruang publik berdasarkan ayat-ayat agama tertentu.
Itu sebabnya kita harus menolak jika ada tokoh agama yang memaksakan kebijakan di ruang publik yang didasarkan pada ayat-ayat agama tertentu.
Sekalipun Indonesia itu mayoritas muslim, tidak boleh ada kebijakan publik yang hanya boleh didasarkan pada ayat-ayat agama muslim tersebut.
Orang katolik pun demikian. Meskipun di Pulau Flores itu mayoritas beragama katolik, kebijakan publik pemerintah daerah di sana tidak boleh hanya didasarkan pada ayat-ayat alkitab.
Agama Katolik sendiri tegas melakukan pemisahan Gereja dan Negara. Dalam masyarakat sekuler, seperti Indonesia, gereja dan negara memiliki peran yang berbeda.
Gereja memiliki otoritas dalam masalah keagamaan. Kristus memberikan perutusan yang khas, yang Ia pancangkan kepada gereja adalah di tata keagamaan.
Perutusan gereja bukan berada di tata politik, tata ekonomi, atau tata sosial. Sebab tata politik, tata ekonomi, atau tata sosial adalah wilayah otoritas negara.
Oleh karena itu, gereja tidak boleh memaksakan keputusannya menolak geothermal kepada masyarakat luas di Flores. Sebab, proyek geothermal tidak masuk wilayah tata keagamaan.
![]()
![]()
![]()
