Kualitas Pendidikan NTT, Cukup dari Program MBG?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pemerintah pusat pada awal tahun 2025. Tujuan utama program ini guna menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak usia sekolah. Pemerintah Republik Indonesia terus mengakselerasi pelaksanaan Program MBG yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto sebagai program prioritas nasional. Bapak Prabowo Subianto sendiri menegaskan bahwa target program akan menjangkau 82 juta penerima manfaat di seluruh indonesia (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2025).

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebut bahwa penerima manfaat Program MBG telah mencapai 41,6 juta orang hingga 11 November 2025. Selain itu sebanyak 14.773 SPPG telah terbentuk dan tersebar di seluruh Indonesia.

Program MBG selain untuk meningkatkan asupan gizi bagi anak-anak sekolah, juga berperan langsung dalam menggerakan roda perekonomian daerah. Program ini mendorong perputaran ekomoni di daerah-daerah, dengan adanya produksi dan distribusi bahan makanan oleh petani dan peternak lokal. Kondisi ini diharapkan dapat mendukung rantai pasok pangan seperti sayuran, buah, dan telur yang bersumber dari masyarakat lokal.

Nusa Tenggara Timur memang membutuhkan perhatian serius terkait masalah gizi. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, jumlah balita stunting di NTT pada tahun 2024 mencapai 64.507 jiwa, dengan prevalensi stunting sebesar 37 persen; angka ini jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 19,8 persen. Hal ini menunjukan perlunya intervensi gizi yang lebih intensif untuk menekan angka stunting di Nusa Tenggara Timur.

Hadirnya program MBG ini merupakan angin segar yang diharapkan mampu memperbaiki masalah gizi dengan tujuan utama meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Namun di balik itu semua, muncul pertanyaan mendasar yaitu :“apakah program ini benar-benar menjawab akar persoalan pendidikan khusunya di NTT, atau sekadar mengenyangkan perut tanpa menyentuh inti persoalan mutu dan akar permasalahan pendidikan selama ini ?”.

Potret Pilu Pendidikan NTT

Pendidikan berkualitas di Nusa Tenggara Timur sendiri kini menjadi perhatian serius banyak pihak. Menurut Ombudsman, masalah pendidikan di Bumi Flobamarota sangat kompleks. Permasalahan tersebut antara lain: tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah, akses lokasi yang sulit di jangkau, kurang tenaga pengajar, dan fasilitas pendidikan yang tidak merata. Berdasarkan Data dari BPS (SUSENAS), rata-rata lama sekolah di Provinsi Nusa Tenggara Timur periode tahun 2024 adalah 8,02 tahun. Artinya, penduduk di provinsi ini secara rata-rata hanya menyelesaikan pendidikan pada jenjang SLTP di tingkat/kelas 2 (atau kelas 8). Apabila dicermati Kabupaten/Kota maka rata-rata lama sekolah di Kota Kupang adalah yang tertinggi di bandingkan daerah lain di NTT. Kota kupang memiliki rata-rata lama sekolah 11,64 tahun, sementara Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi yang terendah dengan rata-rata lama sekolah 6,39 tahun. Hal ini mencerminkan kesenjangan pendidikan antar wilayah yang terjadi di Nusa Tenggara Timur.

Tenaga pengajar adalah ujung tombak dari keberhasilan sistem pendidikan dan kualitas lulusannya. Kurangnya tenaga pengajar yang profesional menjadi salah satu hambatan mendasar dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.

Saat ini, masih banyak sekolah di Nusa Tenggara Timur sangat tergantung pada guru dengan kompetensi terbatas. Akibatnya, output dari proses pembelajaran tidak berdampak secara optimal.