Kondisi ini membuat peningkatan kualitas peserta didik berjalan lambat. Hal ini diperparah lagi dengan fasilitas pendidikan yang tidak merata menjadi tantangan internal bagi setiap sekolah di NTT. Banyak sekolah di NTT yang masih membutuhkan ruang kelas yang layak. Salah satunya adalah “Sekolah Dasar Pararel Lailara” yang berada di Kabupaten Sumba Timur. Sekolah ini berdinding bambu dan beralaskan tanah dengan fasilitas yang seadanya. SD Pararel Lailara hanyalah sebuah potret kecil dari banyaknya sekolah yang bernasib sama di Nusa Tengara Timur pada wilayah 3T (Tertinggal,Terdepan dan Terluar).
Realisasi Dalam Realitas
Program MBG sendiri tidak bisa dilihat hanya sebagai solusi tunggal untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Anak yang kenyang belum tentu bisa belajar dengan baik jika ruangan kelas yang mereka tempati dalam keadaan rusak atau tidak layak, buku pelajaran terbatas dan para guru masih bergulat dengan fasilitas yang masih jauh dari kata layak.
Adapun Badan Gizi Nasional (BGN) menyebutkan bahwa pemerintah pusat mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 8 triliun untuk mendukung pelaksanaan Makan Bergizi Gratis di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dana yang di salurkan untuk program MBG ini jauh lebih besar jika di bandingkan dengan target APBD Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar Rp.5,2 triliun untuk tahun 2025 (KoranNTT,2025). Bila dicermati, dana yang di targetkan untuk program MBG ini juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana yang di kucurkan untuk pendidikan di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2025, dengan nilai sebesar Rp.2,3 triliun dengan tujuan meningkatkan IPM daerah melalui jalur pendidikan.
Pertanyaan tentang efektivitas menjadi penting. Dana yang besar untuk menyediakan makanan bergizi jika tidak di imbangi dengan kesiapan fasilitas dasar pendidikan bisa saja berujung pada pemborosan kebijakan dan penyalahgunaan dana. Banyaknya problematik terjadi setelah program MBG ini di jalankan, mulai kekhawatiran terhadap penyalagunaan dana hingga resiko kualitas makanan pada penerima manfaat. Jika dilihat dari banyaknya fenomena yang terjadi terdapat salah satu resiko yang paling kritis, yaitu keracunan makanan pada penerima manfaat. Salah satu dari resiko program ini terjadi pada SMPN 8 Kupang pada bulan Juli lalu. Sebanyak lebih dari 140 siswa/siswi penerima manfaat mengalami keracunan masal setelah menyantap MBG.
Meskipun ada resiko dari program MBG, dampak positif program ini begitu di rasakan oleh masyarakat. Mulai dari peran petani dan peternak yang di libatkan dalam program ini sebagai penyuplai bahan baku, menciptakan lapangan pekerjaan baru sebagai operasional dapur dan tanggapan positif orang tua murid terhadap program ini. Berbagai sumber menyatakan bahwa meskipun menghadapi sejumlah kendala teknis, pelaksanaan MBG di sekolah memperlihatkan perubahan perilaku positif, seperti anak-anak yang mulai terbiasa mencuci tangan, berdoa bersama, dan semakin aktif untuk sekolah dan belajar setiap hari.
Harapan
Tidak ada yang menolak tentang pentingnya gizi, namun kebijakan publik yang baik menuntut prioritas yang proporsional. Harapan besar terhadap keberlanjutan perogram ini terletak pada peningkatan kualitas fasilitas pendidikan sebagai pendukung keberhasilan MBG. Anak-anak tidak hanya membutuhkan makanan bergizi tetapi juga fasilitas dan infrastruktur yang memadai guna menunjang pembelajaran dan mutu pendidikan. Program MBG pada dasarnya lahir dari niat baik, maka dari itu butuh juga pengawasan yang lebih baik juga. Persoalan utama di NTT bukan sekedar gizi yang tercukupi melainkan juga sekolah yang masih lapar akan perhatian. Hal ini karena pendidikan yang baik tidak hanya dimulai dari dapur sekolah, tetapi dari ruang kelas yang hidup, guru yang sejahtera, dan anak-anak yang di berikan kesempatan belajar dalam lingkungan yang layak.
Oleh: Franklin Delano Marjen, Mahasiswa Magang di Tim Statistik Produksi BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur
![]()
![]()
![]()
