Lanjutkan Project PLTP Ulumbu, Akademisi Edi Danggur: Pernyataan Bupati Manggarai Benar Secara Hukum

“Pembatalan hanya dalam bentuk putusan pengadilan. Itu berarti harus ada gugatan terlebih dahulu dari warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya keputusan Bupati tersebut,” terangnya lagi.

Lebih lanjut jelasnya, hakim PTUN hanya bisa membatalkan Keputusan Bupati tersebut jika warga masyarakat yang menggugat bisa membuktikan bahwa SK Bupati tersebut cacat wewenang, cacat prosedur dan/atau cacat substansi.

Disebutnya lagi, undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan dibuat untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan melalui penggunaan wewenang Pejabat TUN yang mengacu pada asas-asas umum permerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan.

“Kalau kita membaca dengan cermat UU tentang Administrasi Pemerintahan itu, tidak ada satu pun pasal yang memberikan wewenang kepada Wakil Bupati untuk menghentikan apalagi membatalkan keputusan seorang Bupati

Sambung Edi, wewenang untuk membatalkan SK Bupati diberikan oleh UU kepada atasan pejabat TUN yang menerbitkan SK tersebut. Tetapi, wewenang atasan itu hanya berlaku paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan pembatalan. Itupun atasan pejabat TUN itu harus bisa membuktikan adanya cacat wewenang, cacat prosedur dan/atau cacat substansi dalam SK Penetapan Lokasi tersebut.

SK Penetapan Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati Manggarai itu, tegas Edi tetap sah dan tetap berlaku sampai saat ini walaupun ada pernyataan lisan oleh wakil Bupati Heri Ngabut, saat menerima kehadiran sejumlah warga mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok. Apalagi kata Edi, tidak ada warga masyarakat yang menggugat pembatalan SK Penetapan Lokasi itu ke PTUN.

“Sekalipun ada gugatan, tidak serta-merta pula SK Penetapan Lokasi itu ditunda pemberlakuannya. Bagi orang yang dulu pada waktu kuliah mengambil mata kuliah Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Adminitrasi Pemerintahan, atau apapun namanya, dikenal sebuah adagium universal yang berbunyi: presumptio iustae causa, artinya: setiap keputusan Badan atau Pejabat TUN, termasuk keputusan Bupati, dianggap sah dan tetap berlaku serta harus dijalankan. Kecuali ada keputusan lain yang menyatakan batal atau tidak sah, atau ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang membatalkan atau menyatakan tidak sah,” ucap Edi.

Dikatakan sebagai adagium universal, karena hampir semua negara di dunia mengadopsi asas hukum atau prinsip hukum seperti itu. Bahkan kalau ada gugatan pembatalan ke PTUN sekalipun, tidak serta-merta menunda berlakunya SK tersebut. Di Indonesia, asas hukum tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi: “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat”.